Showing posts with label al qur'n. Show all posts
Showing posts with label al qur'n. Show all posts

Saturday, May 12, 2018

TAFSIR Q.S AL-AHZAB AYAT 72 : MAKNA DZOLUUMAN JAHUULAA


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (Surah Al-Ahzab, Ayat 72) :

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab [33]: 72).

Dalam sebuah riwayat, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibn Katsir, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa yang dimaksud amanah di ayat ini adalah ketaatan. Dalam riwayat lain dari Ibn ‘Abbas, masih dalam Tafsir Ibn Katsir, beliau menyatakan makna amanah di sini adalah kewajiban-kewajiban. Allah menawarkan amanah ini kepada langit, bumi dan gunung-gunung, jika mereka menunaikannya mereka akan mendapat pahala, dan jika mereka tidak menunaikannya mereka akan mendapat siksa. Mereka tidak menyukainya dan enggan untuk mengambilnya. Mereka enggan bukan karena maksiat kepada Allah, namun karena sadar akan keagungan diin Allah, dan khawatir tidak sanggup menunaikannya. Kemudian amanah ini ditawarkan kepada Adam ‘alaihis salam, dan beliau menerimanya. Inilah yang disebutkan dalam firman Allah ta’ala: {Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, amanah di ayat ini mencakup seluruh taklif syariah dan kewajiban agama, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Amanah ini merupakan sesuatu yang sangat besar dan agung, hingga langit, bumi dan gunung-gunung tidak mau memikulnya. Namun, manusia bersedia memikulnya, hingga ia disebut sangat zalim dan sangat bodoh, karena ia tidak memahami besar dan beratnya tugas memikul amanah ini.

Al-Insan (manusia) di ayat ini bersifat umum, hingga mencakup orang kafir, munafiq, pelaku maksiat, dan orang yang beriman. Hanya orang-orang berimanlah yang mampu memikul amanah yang sangat berat ini, amanah yang tidak mampu dipikul oleh makhluk Allah yang jauh lebih besar dari manusia, yaitu langit, bumi dan gunung-gunung. Sisanya, mayoritas manusia yang kafir, munafiq dan para ahli maksiat, tidak mampu memikul amanah ini, dan mereka akan mendapat siksa yang pedih kelak di akhirat.
Wallahu a’lam.

baca juga => TAFSIR Q.S AN-NUR AYAT 35 : MAKSUD ALLAH ITU CAHAYA LANGIT DAN BUMI

TAFSIR Q.S AN-NUR AYAT 35 : MAKSUD ALLAH ITU CAHAYA LANGIT DAN BUMI


Surat An-Nur Ayat 35 :

۞ اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ


Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

- Tafsir Jalalain :
(Allah cahaya langit dan bumi) yakni pemberi cahaya langit dan bumi dengan matahari dan bulan. (Perumpamaan cahaya Allah) sifat cahaya Allah di dalam kalbu orang Mukmin (adalah seperti misykat yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca) yang dinamakan lampu lentera atau Qandil. Yang dimaksud Al Mishbah adalah lampu atau sumbu yang dinyalakan. Sedangkan Al Misykaat artinya sebuah lubang yang tidak tembus. Sedangkan pengertian pelita di dalam kaca, maksudnya lampu tersebut berada di dalamnya (kaca itu seakan-akan) cahaya yang terpancar darinya (bintang yang bercahaya seperti mutiara) kalau dibaca Diriyyun atau Duriyyun berarti berasal dari kata Ad Dar'u yang artinya menolak atau menyingkirkan, dikatakan demikian karena dapat mengusir kegelapan, maksudnya bercahaya. Jika dibaca Durriyyun dengan mentasydidkan huruf Ra, berarti mutiara, maksudnya cahayanya seperti mutiara (yang dinyalakan) kalau dibaca Tawaqqada dalam bentuk Fi'il Madhi, artinya lampu itu menyala. Menurut suatu qiraat dibaca dalam bentuk Fi'il Mudhari' yaitu Tuuqidu, menurut qiraat lainnya dibaca Yuuqadu, dan menurut qiraat yang lainnya lagi dapat dibaca Tuuqadu, artinya kaca itu seolah-olah dinyalakan (dengan) minyak (dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur dan pula tidak di sebelah Barat) akan tetapi tumbuh di antara keduanya, sehingga tidak terkena panas atau dingin yang dapat merusaknya (yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api) mengingat jernihnya minyak itu. (Cahaya) yang disebabkannya (di atas cahaya) api dari pelita itu.

Makna yang dimaksud dengan cahaya Allah adalah petunjuk-Nya kepada orang Mukmin, maksudnya hal itu adalah cahaya di atas cahaya iman (Allah membimbing kepada cahaya-Nya) yaitu kepada agama Islam (siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat) yakni menjelaskan (perumpamaan-perumpamaan bagi manusia) supaya dapat dicerna oleh pemahaman mereka, kemudian supaya mereka mengambil pelajaran daripadanya, sehingga mereka mau beriman (dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) antara lain ialah membuat perumpamaan-perumpamaan ini. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas tentang firman Allah : “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi,” yakni, Allah pemberi petunjuk bagi penduduk langit dan bumi. Ibnu Juraij berkata, Mujahid dan ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata tentang firman Allah : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.’ Yaitu, yang mengatur urusan di langit dan di bumi, mengatur bintang-bintang, matahari, dan bulan.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Anas bin Malik , ia berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Cahaya-Ku adalah petunjuk.’” Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab tentang firman Allah : “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya.” Yaitu, orang Mukmin yang Allah resapkan keimanan dan al-Qur-an ke dalam dadanya. Lalu Allah me­nyebut­kan permisalan tentangnya, Allah berfirman: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi,” Allah memulai dengan menyebutkan cahaya-Nya, kemudian menyebutkan cahaya orang Mukmin: “Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya.” Ubay membacanya: “Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya,” yaitu seorang Mukmin yang Allah resapkan keimanan dan al-Qur-an ke dalam dadanya. Demikianlah diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair dan Qais bin Sa’ad dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwa beliau membacanya: “Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah.”

Sebagian qari’ membacanya: “Allah Penerang langit dan bumi.” Adh-Dhahhak membacanya: “Allah yang menerangi langit dan bumi.” Dalam menafsirkan ayat ini, as-Suddi berkata: “Dengan cahaya-Nya langit dan bumi menjadi terang benderang.” Dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas , ia berkata: “Apabila Rasulullah bangun di tengah malam, beliau berdo’a: “Ya Allah, segala puji bagi-Mu, Engkau adalah cahaya langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau Yang Mengatur langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya.” (Al-Hadits).

Firman Allah : “Perumpamaan cahaya-Nya,” ada dua pendapat berkaitan dengan dhamir (kata ganti orang ketiga) dalam ayat ini: Dhamir tersebut kembali kepada Allah, yakni perumpamaan petunjuk-Nya dalam hati seorang Mukmin seperti misykaah (lubang yang tak tembus). Demikian dikatakan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas . Dhamir tersebut kembali kepada orang-orang Mukmin yang disebutkan dalam konteks kalimat, yakni perumpamaan cahaya seorang Mukmin yang ada dalam hatinya seperti misykaah. Hati seorang Mukmin disamakan dengan fitrahnya, yaitu hidayah dan cahaya al-Qur-an yang diterimanya yang sesuai dengan fitrahnya. Seperti disebutkan dalam ayat lain: “Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (al-Qur-an) dari Rabbnya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah.” (QS. Huud: 17).

Allah menyamakan kemurnian hati seorang Mukmin dengan lentera dari kaca yang tipis dan mengkilat, menyamakan hidayah al-Qur-an dan syari’at yang dimintanya dengan minyak zaitun yang bagus lagi jernih, bercahaya dan tegak, tidak kotor dan tidak bengkok. Firman Allah : “Seperti sebuah lubang yang tak tembus,” Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Muhammad bin Ka’ab, dan lainnya mengatakan: “Misykaah adalah tempat sumbu pada lampu, itulah makna yang paling masyhur.” Firman Allah : “Yang di dalamnya ada pelita besar,” yaitu cahaya yang terdapat di dalam lentera. Ubay bin Ka’ab mengatakan: “Mishbaah adalah cahaya, yaitu al-Qur-an dan iman yang terdapat dalam dada seorang Mukmin.”

Firman Allah : “Pelita itu di dalam kaca,” cahaya tersebut memancar dalam kaca yang bening. Ubay bin Ka’ab dan para ulama lainnya mengatakan: “Maksudnya adalah perumpamaan hati seorang Mukmin.” Firman Allah : “(Dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,” sebagian qari[1] membacanya tanpa hamzah di akhir kata, yakni seakan-akan bintang seperti mutiara. Sebagian lainnya membaca dan atau dengan kasrah dan dhammah huruf daal dan dengan hamzah, diambil dari kata , artinya lontaran. Karena bintang apabila dilontarkan akan lebih bercahaya daripada kondisi-kondisi lainnya. Bangsa Arab menyebut bintang-bintang yang tidak diketahui namanya dengan sebutan . Ubay bin Ka’ab mengatakan: “Yakni bintang-bintang yang bercahaya.”

Firman Allah : “Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,” yaitu berasal dari minyak zaitun, pohon yang penuh berkah, yakni pohon zaitun. Dalam kalimat, kedudukan kata adalah badal atau ‘athaf bayan. Firman Allah : Yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),” tempat tumbuhnya bukan di sebelah timur hingga tidak terkena sinar matahari di awal siang dan bukan pula di sebelah barat hingga tertutupi bayangan sebelum matahari terbenam, namun letaknya di tengah, terus disinari matahari sejak pagi sampai sore. Sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, sedang dan bercahaya.

Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab tentang firman Allah : “Pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),” beliau berkata: “Yakni pohon zaitun yang hijau dan segar yang tidak terkena sinar matahari, bagaimanapun kondisinya, baik ketika matahari terbit maupun matahari terbenam.” Beliau melanjutkan: “Demikianlah seorang Mukmin yang terpelihara dari fitnah-fitnah. Adakalanya ia tertimpa fitnah, namun Allah meneguhkannya, ia selalu berada dalam empat keadaan berikut: Jika berkata ia jujur, jika menghukum ia berlaku adil, jika diberi cobaan ia bersabar dan jika diberi, ia bersyukur. Keadaannya di antara manusia lainnya seperti seorang yang hidup berjalan di tengah-tengah kubur orang-orang yang sudah mati. Zaid bin Aslam mengatakan: “Maksud firman Allah : ‘Tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),’ yaitu negeri Syam.”

Firman Allah : “(Yaitu), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api,”“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),” al-‘Aufi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas , bahwa maksudnya adalah iman seorang hamba dan amalnya. Ubay bin Ka’ab berkata tentang firman Allah : ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “Yakni, disebabkan kilauan minyak yang ber­cahaya. Firman Allah : “Cahaya di atas cahaya,” yakni tidak lepas dari lima cahaya, perkataannya adalah cahaya, amalnya adalah cahaya, tempat masuknya adalah cahaya, tempat keluarnya adalah cahaya, tempat kembalinya adalah cahaya pada hari Kiamat, yakni Surga. As-Suddi mengatakan: “Maksudnya adalah, cahaya api dan cahaya minyak, apabila bersatu akan bersinar, keduanya tidak akan bersinar dengan sendirinya jika tidak berpasangan. Demikian pula cahaya al-Qur-an dan cahaya iman manakala bersatu, tidak akan bercahaya kecuali bila keduanya ber­satu.”

Firman Allah : “Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,” Allah membimbing kepada hidayah bagi siapa yang Dia kehendaki, seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari ‘Abdullah bin ‘Amr , bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Allah memberi cahaya-Nya kepada mereka. Barang siapa mendapat cahaya-Nya pada saat itu, berarti ia telah mendapat petunjuk dan barang siapa tidak mendapatkannya berarti ia telah sesat. Oleh karena itu, aku katakan: ‘Al-Qur-an (penulis takdir) dari ilmu Allah telah kering.’”

Firman Allah : “Dan Allah mem­perbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” Setelah menyebutkan perumpamaan cahaya-Nya dan hidayah-Nya dalam hati seorang Mukmin, Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya: “Dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” Yaitu, Dia Mahamengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan siapa yang berhak disesatkan.
Wallahu a’lam.

baca juga => TAFSIR SURAT ALI IMRON AYAT 110 : KALIAN SEBAIK-BAIK UMAT

TAFSIR SURAT ALI IMRON AYAT 110 : KALIAN SEBAIK-BAIK UMAT

Allah berfirman :

كُنْتُمْ  خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ  وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ  أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ  وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ


" Kalian adalah umat  yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf,  dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara  mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang  fasik ."

Yang dimaksud dengan 'kalian' dalam surat Ali Imran ayat 110 menurut ikrimah adalah ibnu mas'ud, ubay bin ka'b, mu'adz bin jabal dan salim maula abu hudzaifah.

Riwayat dari Ibnu Abbas, yang dimaksud 'kalian' dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang hijrah bersama Nabi shollallohu alaihi wasallam ke madinah.
Juwaibir  berkata dari ad-dhohhak : mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad  shollallohu alaihi wasallam terkhusus yang meriwayatkan hadits dan pendakwah yang Allah perintahkan kepada muslimin untuk menta'atinya.
Diriwayatkan dari Umar bin khottob : kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan  untuk manusia, ayat ini adalah untuk orang-orang pada masa awal kita, bukan untuk orang  akhir akhir kita.

Dalam kitab tafsir al-Qurtuby ada pendapat, bahwa yang dimaksud 'kalian' dalam ayat tersebut adalah ummat Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam, yaitu orang-orang  sholeh dan ahli keutamaan diantara mereka, mereka adalah kelak yang menjadi saksi atas manusia di hari kiamat. Wallahu a’lam. 

baca juga => TAFSIR Q.S AL-BAQOROH AYAT 138 : MAKSUD SHIBGHOTALLAH

TAFSIR Q.S AL-BAQOROH AYAT 138 : MAKSUD SHIBGHOTALLAH


PERTANYAAN :
  Apa maksud potongan ayat ini "Shibghah Allah, Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah ?" ( Q.S. Al-Baqoroh: 138 ).

JAWABAN :
Firman Allah dalam Q.S Al-baqoroh ayat 13 :

صِبْغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ


“Sibgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibgah­nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyem­bah.”

Firman  Allah Swt., "sibgah Allah." Menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, yang  dimaksud dengan saibgah ialah agama Allah. Hal yang semakna telah  diriwayatkan pula dari Mujahid, Abul Aliyah, Ikrimah, Ibrahim, Al-Hasan,  Qatadah, Ad-Dahhak, Abdullah ibnu KOr, Atiyyah Al-Aufi, Ar-Rabi' ibnu  Anas, dan As-Saddi. Lafaz sibgah dibaca nasab, yakni  sibgatallahi, adakalanya karena sebagai igra' (anjuran), seperti  pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: (tetaplah atas) fitrah Allah. (Ar-Rum: 30). Dengan demikian, berarti makna sibgatallahi ialah tetaplah kalian pa­da sibgah (agama) Allah itu.

Ulama yang lain mengatakan bahwa lafaz sibgah dibaca nasab karena berkedudukan sebagai badal dari firman-Nya: (kami mengikuti) agama Ibrahim. (Al-Baqarah: 135). Menurut  Imam Sibawaih, lafaz sibgah dibaca nasab karena menjadi mashdar mu'akkid dari fi'il yang terkandung di dalam firman-Nya : Kami beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 136) Perihalnya sama dengan firman-Nya : Allah telah membuat suatu janji. (An-Nisa: 122).

Telah  disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim  dan Ibnu Murdawaih melalui riwayat Asy'a§ ibnu Ishaq, dari Sa'id ibnu  Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. pernah ber­sabda : “Sesungguhnya  orang-orang Bani Israil pernah bertanya, "Wahai utusan Allah, apakah  Tuhanmu melakukan celupan?" Musa a.s. menjawab, "Jangan kalian  sembarangan, bertakwalah kepada Allah!" Maka Tuhannya menyerunya, "Hai  Musa, apakah me­reka menanyakan kepadamu bahwa benarkah Tuhanmu  melaku­kan celupan? Katakanlah, Benar, Aku mencelup berbagai warna, ada  yang merah, ada yang putih, dan ada yang hitam, semuanya adalah hasil  celupan-Ku."
Allah Swt. menurunkan kepada Nabi-Nya ayat berikut, yaitu firman­Nya : Sibgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibgah-nya daripada Allah? (Al-Baqarah: 138).

Demikianlah  menurut apa yang disebutkan di dalam riwayat Ibnu Murdawaih secara  marfu' , sedangkan sanad ini menurut riwayat Ibnu Abu Hatim berpredikat  mauquf, tetapi sanad Ibnu Abu Hatim lebih dekat kepada predikat marfu'  jika sanadnya sahih.

-Tafsir Ibnu Katsir :

وقوله  : ( صبغة الله ) قال الضحاك ، عن ابن عباس : دين الله . وكذا روي عن مجاهد  ، وأبي العالية ، وعكرمة ، وإبراهيم ، والحسن ، وقتادة ، والضحاك ، وعبد  الله بن كثير ، وعطية العوفي ، والربيع بن أنس ، والسدي ، نحو ذلك .

وانتصاب  ( صبغة الله ) إما على الإغراء كقوله ( فطرة الله ) [ الروم : 30 ] أي :  الزموا ذلك عليكموه . وقال بعضهم : بدل من قوله : ( ملة إبراهيم ) وقال  سيبويه : هو مصدر مؤكد انتصب عن قوله : ( آمنا بالله ) كقوله ) واعبدوا  الله ) [ النساء : 36 ] .

وقد ورد في حديث رواه ابن أبي  حاتم وابن مردويه ، من رواية أشعث بن إسحاق عن جعفر بن أبي المغيرة عن سعيد  بن جبير ، عن ابن عباس أن نبي الله قال : " إن بني إسرائيل قالوا : يا  موسى ، هل يصبغ ربك ؟ فقال : اتقوا الله . فناداه ربه : يا موسى ، سألوك هل  يصبغ ربك ؟ فقل : نعم ، أنا أصبغ الألوان : الأحمر والأبيض والأسود ،  والألوان كلها من صبغي " . وأنزل الله على نبيه صلى الله عليه وسلم : (  صبغة الله ومن أحسن من الله صبغة ) .

كذا وقع في رواية ابن مردويه مرفوعا ، وهو في رواية ابن أبي حاتم موقوف ، وهو أشبه ، إن صح إسناده ، والله أعلم .


Coba kita perhatikan tamtsil berikut : Anak anak itu laksana kain putih yang belum diberi warna (dicelep warna). Jika sedari kecil dikenalkan pada Agama Allah dan rosulnya, diberi pelajaran dan atau dimasukkan pada lembaga pendidikan yang berbasiskan agama, maka seperti demikian dikatakan Shibghoh Allah. Bandingkan  dengan anak yang dalam keluarganya tidak memperkenalkan pada ajaran agama,  kemudian hanya mengenyam pendidikan umum / formal saja.

Maka pengenalan ajaran agama ,mendidik dan membimbingnya dikatakan Celepan/shibghoh Allah. Sebaliknya, jika hanya dikenalkan dididik akan ilmu umum saja, maka tidak dikatakan tidak tercelep oleh warna agama. Wallahu a'lam.

baca juga =>  TAFSIR Q.S. AL-BAQOROH AYAT 57 : MAKSUD AWAN, MANNA DAN SALWA

TAFSIR Q.S. AL-BAQOROH AYAT 57 : MAKSUD AWAN, MANNA DAN SALWA

Firman Allah dalam surat  Al-Baqarah, ayat 57 :

وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ  كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ۖ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِن  كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ


Artinya: “Dan  Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna  dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan  kepada kalian. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah  yang menganiaya diri mereka sendiri.”

Setelah Allah  Swt. menyebutkan perihal murka yang Dia hapuskan terhadap mereka, maka  Allah kembali mengingatkan mereka akan limpahan nikmat-nikmat yang telah  diberikan oleh-Nya kepada mereka. Untuk itu Allah berfirman : “Dan Kami naungi kalian dengan awan.” (Al-Baqarah: 57).

Al-gamaam  adalah bentuk jamak dari gamaamah; dinamakan demikian karena gamaamah  menutupi langit, artinya awan putih. Mereka dinaungi oleh awan agar  terhindar dari sengatan panas matahari padang pasir yang sangat terik  itu. Imam Nasai dan lain-lainnya meriwayatkan dari  Ibnu Abbas dalam hadis Al-Futun, bahwa mereka dinaungi oleh awan ketika  berada di padang pasir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan  dari Ibnu Umar, Ar-Rabi' ibnu Anas, Abul Mijlaz, Ad-Dahhak, dan As-Saddi  hal yang semisal dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas.

Al-Hasan  dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wadzalalnaa  'alaikumul gamaama," bahwa hal ini terjadi di padang pasir; mereka  dinaungi oleh awan tersebut hingga terhindar dan teriknya matahari. Ibnu  Jarir dan lain-lainnya mengatakan bahwa awan tersebut lebih sejuk dan  lebih baik daripada awan biasa.

Ibnu Abu Hatim  meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Huiaifah, telah  menceritakan kepada kami Syiblun, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid  sehubungan dengan makna firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud dengan awan  di sini bukanlah awan yang Allah datangkan dengannya kelak di hari  kiamat, melainkan awan yang khusus hanya bagi mereka.

Hal yang sama  diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Muianna ibnu Ibrahim, dari  Abu Hudzaifah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh dan lain-lainnya,  dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.
Seakan-akan  dimaksudkan —hanya Allah yang mengetahui bahwa awan tersebut bukanlah  seperti awan yang ada pada kita, melainkan jauh lebih indah dan lebih  semerbak serta lebih balk peman-dangannya. Sunaid di dalam kitab  tafsirnya mengatakan dari Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, bahwa  Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya : “Dan Kami naungi kalian dengan awan.” (Al-Baqarah: 57).

Bahwa  awan tersebut lebih sejuk dan lebih semerbak baunya daripada awan  biasa. Awan inilah yang Allah datang dengan memakainya, seperti yang  dinyatakan di dalam firman-Nya : Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210).

Awan  inilah yang para malaikat datang dengan membawanya dalam Perang Badar.  Ibnu Abbas mengatakan, awan tersebutlah yang menaungi mereka (Bani  Israil) ketika di padang pasir.
Firman Allah Swt.: “dan Kami turunkan kepada kalian manna.” (Al-Baqarah: 57).
Keterangan  para ahli tafsir berbeda-beda sehubungan dengan hakikat dan manna ini.  All ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa manna turun pada  mereka di pohon-pohon, lalu mereka menaikinya dan memakannya dengan  sepuas-puasnya. Mujahid mengatakan bahwa manna  adalah getah. Ikrimah mengatakan bahwa manna ialah sesuatu makanan yang  diturunkan oleh Allah kepada mereka seperti hujan gerimis.

As-Saddi  mengatakan bahwa mereka berkata, "Hai Musa, bagaimanakah kami dapat  hidup di sini tanpa ada makanan?" Maka Allah menurunkan manna kepada  mereka. Manna itu turun, lalu terjatuh pada pohon zanjabil (jahe).
Qatadah  mengatakan bahwa manna turun di tempat mereka berada seperti turunnya  salju, bentuknya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis  daripada madu; manna turun kepada mereka mulai dari terbitnya fajar  hingga matahari terbit. Seseorang dari mereka mengambil sekadar apa yang  cukup bagi keperluannya di hari itu. Apabila is mengambil lebih dari  itu, maka manna menjadi busuk dan tidak tersisa. Akan tetapi, bila hari  yang keenam tiba —yakni hari Jum’at , maka seseorang mengambil  kebutuhannya dari manna untuk hari dan hari besoknya, mengingat hari  besoknya adalah hari Sabtu. Karena hari Sabtu merupakan hari libur  mereka, tiada seorang pun yang bekerja pada hari itu untuk  penghidupannya, hal ini semua terjadi di daratan.

Ar-Rabi'  ibnu Anas mengatakan bahwa manna adalah minuman yang diturunkan kepada  mereka (kaum Bani Israil), rupanya seperti madu; mereka mencampurnya  dengan air, lalu meminumnya.

Wahb  ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai manna. Ia menjawab bahwa manna  adalah roti lembut seperti biji jagung atau seperti dedak.

Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu  Ahmad, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir  (yaitu Asy-Sya'bi) yang mengatakan bahwa madu kalian ini merupakan  sepertujuh puluh dari manna. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur  Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa manna adalah madu. Telah disebutkan  di dalam syair Umayyah ibnu Abu Silt seperti berikut:
Allah  melihat bahwa mereka berada di tempat yang tandus, tiada tanaman dan  dada buah-buahan. Maka Dia menyirami mereka dengan hujan, dan mereka  melihat hujan yang menimpa mereka berupa tetesan madu dan air yang  jernih serta air susu yang murni lagi cemerlang.

An-natif  artinya cairan, sedangkan al-halibul mazmur artinya susu yang murni  lagi jernih. Tujuan utama dari semuanya dapat disimpulkan bahwa ungkapan  para ahli tafsir mengenai hakikat manna berdekatan dan tidak terlalu  jauh. Di antara mereka ada yang menafsirkannya sebagai minuman. Akan  tetapi, kenyataannya hanya Allah yang mengetahui; dapat disimpulkan  bahwa manna adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka,  baik berupa makanan atau minuman atau lainnya, yang dihasilkan tanpa  susah payah.
Manna yang dikenal ialah `jika dimakan dengan sendirinya, maka merupakan makanan dan manisan; jika dicampur dengan air, maka
merupakan  minuman yang enak; jika dicampur dengan lainnya merupakan jenis yang  lain'. Akan tetapi, hal ini semata bukanlah makna yang dimaksud oleh  ayat. Sebagai dalilnya ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam  Bukhari.

Imam Bukhari telah mengatakan, telah  menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami  Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair ibnu Hurayyits, dari Sa'id ibnu Zaid  r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pemah bersabda:
Jamur kam-ah berasal dari manna; airnya mengandung obat penawar bagi mata.

Hadis  ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari  Abdul Malik (yaitu Ibnu Umair) dengan lafaz yang sama. Jama'ah  mengetengahkan hadis ini di dalam kitabnya masingmasing —kecuali Abu  Daud— melalui berbagai jalur dari Abdul Malik alias Ibnu Umair dengan  lafaz yang sama. Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat  hasan sahih.

Imam Bukhari dan Imam Muslim  mengetengahkan hadis ini melalui riwayat Al-Hakam, dari Al-Hasan  Al-'Urni dari Amr ibnu Hurayyits dengan lafaz yang sama.

Imam  Turmudzi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah ibnu  Abus Safar dan Mahmud ibnu Gailan; keduanya mengatakan bahwa telah  menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amri, dari Muhammad ibnu Amr, dari  Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah  Saw. pemah bersabda:
Ajwah (buah kurma masak)  berasal dari surga, di dalamnya terkandung obat penyembuh dari  keracunan; dan jamur kam-ah berasal dari manna, airnya mengandung obat  penyembuh bagi (penyakit) mata.

Hadis ini hanya  diketengahkan oleh Imam Turmudzi, kemudian dia mengatakan bahwa hadis  ini hasan garib. Kami tidak mengetahuinya melainkan melalui hadis  Muhammad ibnu Muhammad ibnu Amr; jika tidak demikian, berarti dari hadis  Sa'id ibnu Amr dar iMuhammad ibnu Amr. Di dalam bab ini diriwayatkan  pula dari Sa'id ibnu Zaid dan Abu Sa'id serta Jabir, menurut Imam  Turmudzi.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih  meriwayatkan pula di dalam kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Abu  Hurairah. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad  ibnul Hasan ibnu Ahmad Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Aslam  ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Isa, telah  menceritakan kepada kami Talhah ibnu Abdur Rahman, dari Qatadah, dari  Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a. telah menceritakan bahwa  Rasulullah Saw. pemah bersabda : Jamur kam-ah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi penyakit mata.
Hadis  ini berpredikat garib bila ditinjau dari sanad ini, dan Talhah ibnu  Abdur Rahman ini adalah As-Sulami Al-Wasiti, dijuluki dengan sebutan Abu  Muhammad. Menurut pendapat lain, dia adalah Abu Sulaiman Al-Muaddib;  dan Al-Hafiz Abu Ahmad ibnu Abdi mengatakan sesuatu tentang dirinya. Dia  meriwayatkan dari Qatadah banyak riwayat yang tidak dapat diikuti  (dipakai).

Kemudian  Imam Turmudzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu  Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'adz ibnu Hisyam, telah  menceritakan kepada kami Abu Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu  Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa para sahabat Nabi Saw. mengatakan, "Kam-ah merupakan akar yang ada di dalam tanah." Maka Nabi Saw. bersabda:
Kam-ah  berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit)  mata. Dan ajwah berasal dari surga, is mengandung obat penawar untuk  racun.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari  Muhammad ibnu Basysyar dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari  Muhammad ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu'bah ibnu Abu Bisyr Ja'far  ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang  sama. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdul A'la,  dari Khalid Al-Hadzdza, dari Syahr ibnu Hausyab, tetapi hanya kisah  mengenai kam-ah saja.

Imam Nasai dan Ibnu Majah  meriwayatkan pula melalui hadis Muhammad ibnu Basysyar, dari Abu Abdus  Samad ibnu Abdul Aziz ibnu Abdus Samad, dari Matar Al-Waraq, dari Syahr  kisah mengenai ajwah yang ada pada Imam Nasai, dan kisah mengenai  keduanya (kam-ah dan ajwah) pada Ibnu Majah.

Jalur  periwayatan ini munqati' (terputus) antara Syahr ibnu Hausyab dan Abu  Hurairah, karena sesungguhnya Syahr ibnu Hausyab belum pernah mendengar  riwayat hadis dari Abu Hurairah. Sebagai buktinya ialah apa yang telah  diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam Bab "Walimah", di dalam kitab  Sunan-nya, dari Ali ibnul Husain AdDirhami, dari Abdul A'la, dari Sa'id  ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dan Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman  ibnu Ganam, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.  keluar (menemui mereka) yang saat itu mereka sedang membicarakan tentang  kam-ah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa kam-ah adalah akar yang  ada di dalam tanah. Maka Nabi Saw. bersabda:
Kam-ah berasal dari manna yang airnya mengandung obat bagi (penyakit) mata.
Hadis  ini diriwayatkan pula oleh Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa'id dan  Jabir, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada  kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy,  dari Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Jabir ibnu Abdullah  dan Abu Sa'id Al-Khudri; keduanya mengatakan bahwa Rasulullah Saw.  pemah bersabda:
Kam-ah berasal dari manna, dan  airnya mengandung obat bagi mata. Dan 'ajwah berasal dari surga, ia  mengandung obat untuk keracunan.
Imam Nasai  mengatakan pula di dalam Bab "Walimah", telah menceritakan kepada kami  Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu  Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr Ja'far  ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa'id dan Jabir, bahwa  Rasulullah Saw. telah bersabda:
Kam-ah berasal dari manna, dan airnya merupakan obat penawar bagi (penyakit) mata.

Kemudian  hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari  Al-A'masy, dari Abu Bisyr, dari Syahr, dari Jabir dan Abu Sa'id dengan  lafaz yang sama.

Keduanya —yakni Ibnu Majah dan Imam  Nasai— meriwayatkannya pula; Imam Nasai meriwayatkannya dari hadis  Jarir, sedangkan Ibnu Majah dari hadis Sa'id ibnu Salamah, keduanya dari  AlA'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id,  menurut riwayat Nasai. Sedangkan hadis Jabir menyebutkan bahwa Nabi Saw.  pernah bersabda:
Kam-ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penyembuh bagi mata.

Ibnu  Murdawaih meriwayatkannya pula dari Ahmad ibnu Ugman, dari Abbas  Ad-Dauri, dari Lahiq ibnu Sawab, dari Ammar ibnu Raziq, dari Al-A'masy;  seperti halnya ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih juga berkata, telah  menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ugman, telah menceritakan kepada  kami Abbas Ad-Dauri.

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami  Al-Hasan ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari  A1-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila,  dari Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar  menjumpai kami, sedangkan di tangan beliau tergenggam kam-ah, lalu  beliau bersabda : Kam-ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penawar bagi mata.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Nasai, dari Amr ibnu Mansur, dari Al-Hasan ibnur Rabi' dengan lafaz yang sama.

Kemudian  Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dari Abdullah Ibnu Ishaq, dari  Al-Hasan ibnu Salam, dari Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari  A1-A'masy dengan lafaz yang sama. Demikian pula Imam Nasai, ia telah  meriwayatkan dari Ahmad ibnu Ugman ibnu Hakim, dari Ubaidillah ibnu  Musa.

Telah diriwayatkan melalui hadis Anas ibnu  Malik r.a. seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Murdawaih. Ia  mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu  Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hamdun ibnu Ahmad, telah  menceritakan kepada kami Juwairah ibnu Asyras, telah menceritakan kepada  kami Hammad, dari Syu'aib ibnul Habhab, dari Anas, bahwa para sahabat  Rasulullah Saw. bersegera melihat suatu pohon yang dicabut dari tanah  karena pohon itu sudah tidak tegak lagi, maka sebagian dari mereka  mengatakan, "Kami kira kam-ah." Maka Rasulullah Saw. bersabda : Kam-ah  berasal dari manna, dan airnya mengandung kesembuh- an bagi (penyakit)  mata. Dan 'ajwah berasal dari surga, di da- lamnya terkandung kesembuhan  dari keracunan.
Pokok hadis ini terpelihara melalui  riwayat Hammad ibnu Salamah.

Imam Turmudzi dan Imam Nasai meriwayatkan  melalui jalurnya se- suatu dari hadis ini.
Diriwayatkan  dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ibnu Abbas hal yang sama seperti apa yang  diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam Bab "Walimah"-nya dari Abu Bakar  Ahmad ibnu Ali ibnu Sa'id, dari Ab- dullah ibnu Aun Al-Kharraz, dari Abu  Ubaidah Al-Haddad, dari Ab- dul Jalil ibnu Atiyyah, dari Abdullah ibnu  Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda : Kam-ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi mata.
Seperti  yang Anda ketahui sendiri, hal yang diperselisihkan adalah terletak  pada Syahr ibnu Hausyab.

Menurut kami, Syahr ibnu Hausyab menghafal dan  meriwayatkan hadis ini melalui berbagai  jalur yang semuanya telah disebutkan di atas, dan memang dia  mendengarnya dari sebagian sahabat, sedangkan sebagian yang lain  diterimanya dari orang lain. Semua sanad yang disandarkan kepadanya  berpredikat jayyid, dan dia tidak bermaksud dusta dalam hal ini. Pokok  hadis terpelihara dari Rasulullah Saw., seperti yang disebutkan di atas  melalui riwayat Sa'id ibnu Zaid r.a.
Mengenai salwa,  disebutkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa salwa  adalah sejenis burung yang mirip dengan burung samani yang biasa mereka  makan.

As-Saddi mengatakan dalam kisahnya yang ia  ketengahkan dari Abu Malik dan Abu Saleh, dan Ibnu Abbas r.a.; juga dari  Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi Saw., bahwa salwa  adalah burung yang mirip dengan burung samani.

Ibnu  Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu  Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad ibnu  Abdul Wari§, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Khalid, dari  Jandam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa salwa adalah burung  samani.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Asy-Sya'bi, AdDahhak, Al-Hasan, Ikrimah, dan Ar-Rabbi' ibnu Anas.
Diriwayatkan  dari Ikrimah, salwa adalah sejenis burung seperti burung yang kelak ada  di surga, bentuknya lebih besar daripada burung pipit atau sama  dengannya.

Qatadah mengatakan bahwa salwa adalah  sejenis burung yang berbulu merah yang datang digiring oleh angin  selatan. Seorang lelaki dari kalangan mereka menyembelih sebagian  darinya dalam kadar yang cukup untuk keperluan hari itu; dan apabila ia  melampaui batas dalam pengambilannya, maka daging burung itu membusuk  dan talc tersisa. Tetapi jika ia berada di hari yang keenam (yakni hari  Jumat), maka ia mengambil bagian untuk keperluan hari itu dan hari  esoknya, yakni hari keenam dan hari ketujuhnya. Karena hari yang ketujuh  atau hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang  bekerja di hari itu dan tiada seorang pun yang mencari sesuatu padanya.

Wahb  ibnu Munabbih mengatakan bahwa salwa adalah burung yang gemuk seperti  burung merpati, burung-burung tersebut datang kepada mereka dengan  berbondong-bondong dari Sabtu ke Sabtu yang lainnya, kemudian mereka  mengambil sebagian darinya.
Di dalam riwayat yang  lain dari Wahb disebutkan bahwa kaum Bani Israil meminta kepada Musa  a.s. agar diberi daging, lalu Allah berfirman, "Aku benar-benar akan  memberi mereka makan berupa daging yang paling sedikit didapat di muka  bumi." Kemudian Allah mengirimkan angin kepada mereka, lalu  berjatuhanlah salwa di tempat tinggal mereka; salwa tersebut adalah  samani yang berbondongbondong terbang setinggi tombak. Mereka menyimpan  daging burung samani itu untuk keesokan harinya, tetapi daging itu  membusuk dan roti pun menjadi basi.

As-Saddi  mengatakan bahwa tatkala Bani Israil memasuki padang sahara, mereka  berkata kepada Musa a.s., "Bagaimana kami dapat tahan di tempat seperti  ini? Di manakah makanannya?" Maka Allah menurunkan manna kepada mereka.  Manna turun kepada mereka berjatuhan di atas pohon jahe. Sedangkan salwa  adalah sejenis burung yang bentuknya mirip dengan burung samani, tetapi  lebih besar sedikit.

Seseorang dari mereka bila  menangkap burung salwa itu terlebih dahulu mereka melihatnya. Jika  burung yang ditangkapnya itu gemuk, maka mereka menyembelihnya; tetapi  jika kurus, mereka melepaskannya; jika telah gemuk, maka burung itu bare  ditangkap. Mereka berkata (kepada Musa a.s.), "Ini makanannya, manakah  minumannya?" Maka Allah memerintahkan kepada Musa a.s. untuk memukulkan  tongkatnya pada sebuah batu besar.

Setelah batu itu dipukul dengan  tongkatnya, memancarlah dua belas mata air yang mengalir, hingga  tiap-tiap puak dari Bani Israil mempunyai mata airnya sendirisendiri.  Mereka berkata lagi, "Ini minuman, maka manakah naungannya? Mereka  dinaungi oleh awan, dan mereka berkata lagi, "Ini naungan, manakah  pakaiannya?" Tersebutlah bahwa pakaian mereka tahan lama dan tidak  robek-robek.
Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: "Dan Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa. (Al-Baqarah: 57).

Dan  (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman,  "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!" Lalu memancarlah darinya dua belas  mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya  (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan  janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.  (AlBaqarah: 60)
Telah diriwayatkan dari Wahb ibnu  Munabbih dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam hal yang semisal dengan  apa yang telah diriwayatkan oleh As-Saddi.

Sunaid  meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang menceritakan, "Ibnu  Abbas r.a. pernah mengatakan bahwa Allah menciptakan bagi mereka di  padang pasir pakaian yang anti robek dan anti kotor."

Ibnu  Juraij mengatakan, "Seorang lelaki (dari kalangan mereka) apabila  mengambil manna dan salwa dalam jumlah lebih dari keperluan seharinya,  maka manna dan salwa itu membusuk. Hanya saja pada hari Jumat mereka  mengambil makanan dalam jumlah lebih karena untuk hari Sabtunya, dan  pada pagi hari Sabtu makanan tersebut tidak rusak.

Ibnu  Atiyyah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung, menurut  kesepakatan ulama Mufassirin.

Kelirulah Al-Hudzali yang mengatakan dalam  bait syairnya bahwa salwa itu adalah madu. Hal ini terbukti melalui  perkataannya dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
Dan  dia bersumpah secara sungguh-sungguh dengan menyebut asma Allah, bahwa  kalian benar-benar lebih lezat daripada salwa (madu) apabila dipetik  dari sarangnya.
Al-Hufzali menduga bahwa salwa itu adalah madu.

Al-Qurtubi  mengatakan, pengakuan yang mendakwakan adanya kesepakatan (bahwa salwa  adalah sejenis burung) tidak sah, karena Muwarrij —seorang ulama bahasa  dan tafsir— mengatakan bahwa
adalah madu. Kemudian is  mengemukakan dalilnya dengan kepada perkataan tadi. Ia menjelaskan,  memang demikianlah sebutannya di dalam dialek Kinanah, mengingat madu  merupakan minuman yang lezat; termasuk ke dalam pengertian ini ialah  'ainun Silwan (mata air yang menyegarkan).

Al-Jauhari  mengatakan bahwa salwa adalah madu. Ia mengatakan demikian berdalilkan  ucapan Al-Hulali tadi. Sulwanah artinya kharzah (sebuah wadah). Mereka  mengatakan, apabila dituangkan air hujan, lalu diminum oleh seseorang  yang sedang dimabuk asmara, maka is akan lupa kepada segala-galanya.  Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan : Aku telah meminum air hujan dari wadah sulwanah, demi kehidupan yang baru, hai Mai, aku tidak dapat berlupa diri.

Nama  air yang diminum dengan memakai wadah tersebut adalah sulwan. Sebagian  orang mengatakan bahwa sulwan menipakan obat penawar yang dapat  menyembuhkan karena lupa kepada kesedihan. Para tabib menamakannya  dengan sebutan mufarrij.

Mereka  mengatakan bahwa salwa adalah bentuk jamak, bentuk tunggalnya pun sama;  sama halnya dengan samani yang bentuk tunggal dan jamaknya sama. Tetapi  dapat pula dikatakan saliva adalah bentuk jamak, sedangkan bentuk  tunggalnya adalah waili 1).

Imam Khalil mengatakan bahwa salwa bentuk tunggalnya adalah silwatun, lalu Imam Khalil mengetengahkan sebuah syair: Sesungguhnya aku benar-benar tergetar bila mengingatmu, seperti seekor burung salwa yang mengibaskan air hujan dari tu buhnya.
Imam  Kisai mengatakan bahwa salwa adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk  jamaknya adalah salawa. Semua pendapat di atas telah dinukil oleh  Al-Qurtubi.

Demikian menurut salinannya, sedangkan di dalam syarah Qamus disebutkan seperti berikut:  Bahwa di dalam kitab ihah Al-Akhfasy mengatakan, "Aku belum peniah  mendengar bentuk tunggalnya, tetapi keadaan lafaz salwa ini mirip dengan  lafaz yang bentuk tunggal dan jamaknya sama, seperti lafaz dafla untuk  tunggal dan jamak."

Firman Allah Swt .: Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 57)
Perintah dalam ayat ini mengandung makna ibahah (boleh), pengarahan, dan sebagai anugerah. Sedangkan mengenai firman-Nya:
Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Al-Baqarah: 57)

Makna  yang dimaksud dengan ayat sebelumnya yaitu `Kami perintahkan mereka  untuk memakan rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka, dan  hendaklah mereka beribadah (kepada-Nya)', seperti pengertian yang  terdapat pada ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
Makanlah oleh kalian dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (Saba': 15)

Akan  tetapi, mereka (Bani Israil) menentang dan kafir, sehingga jadilah  mereka orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, padahal mereka telah  menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri semua tanda kebesaran Allah  yang jelas, mukjizat-mukjizat yang pasti, dan halhal yang bertentangan  dengan hukum alam.

Dari keterangan ini tampak jelas  keutamaan para sahabat Nabi Muhammad Saw. yang berada di atas semua  sahabat nabi-nabi lainnya dalam hal kesabaran, keteguhan, dan ketegaran  mereka yang tidak pemah surut. Padahal mereka selalu bersamanya dalam  semua perjalanan dan peperangan, antara lain ialah dalam Perang Tabuk  yang situasinya sangat panas dan melelahkan. Sekalipun demikian, mereka  tidak pernah meminta kepada Nabi Saw. mengadakan hal-yang bertentangan  dengan hukumrmas alam dan hal-hal yang aneh, padahal hal tersebut  amatlah mudah bagi Nabi Saw.

Hanya ketika rasa la-par sangat melemahkan  tubuh mereka, mereka meminta kepada Nabi Saw. agar makanan yang mereka  bawa diperbanyak. Untuk itu mereka mengumpulkan semua makanan yang ada  pada mereka, lalu terkumpullah makanan yang jumlah keseluruhannya sama  dengan tinggi seekor kambing yang sedang duduk istirahat. Kemudian Nabi  Saw. berdoa agar makanan tersebut diberkahi, temyata akhimya mereka  dapat memenuhi semua wadah makanan yang mereka bawa.

Demikian  pula ketika mereka memerlukan air, Nabi memohon kepada Allah Swt., lalu  datanglah awan yang langsung menghujani mereka. Akhimya mereka minum  dan memberi minum ternak mereka hingga dapat memenuhi wadah air minum  yang mereka bawa. Kemudian mereka melihat keadaan hujan tersebut,  temyata hujan tidak melampaui batas pasukan kaum muslim bermarkas.

Hal  ini jelas lebih utama dan lebih sempurna, yang menunjukkan keikhlasan  mereka dalam mengikuti Nabi Saw., padahal Allah berkuasa untuk memenuhi  apa yang diminta oleh Rasulullah Saw. buat pasukan kaum muslim yang  mengikutinya saat itu.
wallahu a'lam

baca juga =>  TAFSIR QS AL-ISRA AYAT 72 : BUTA DI DUNIA BUTA DI AKHIRAT ?

TAFSIR QS AL-ISRA AYAT 72 : BUTA DI DUNIA BUTA DI AKHIRAT ?

Firman Allah dalam Surat Al Isra' ayat 72 :
وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا

"Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat kelak iapun akan buta dan sesat jalannya".

Maksudnya,  barang siapa yang buta didunia ini dari mengambil pelajaran dan melihat  kebenaran, maka diapun akan buta dalam urusan akherat. Ikrimah berkata : " segolongan penduduk yaman mendatangi Ibnu Abbas, kemudian mereka menanyakan ayat itu, Ibnu Abbas berkata : " bacalah oleh kalian ayat sebelumnya, yaitu : Tuhan-mu adalah yang melayarkan kapal-Kapal di lautan untukmu - (sampai) - dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas  kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (al isra' ayat 66-70). Barang  siapa yang berada dalam kenikmatan-kenikmatan ini dan ayat-ayat yang telah dilihat dia buta, maka dari akherat yang belum nyata dia akan buta dan sesat  jalannya."

Dikatakan : maknanya adalah barangsiapa buta dari nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya di dunia maka dari nikmat-nikmat akherat dia akan buta.

Dikatakan : maknanya adalah barangsiapa berada didunia yang diberi tangguh waktu, diberi keleluasaan dan dijanjikan diterimanya taubat dia buta, maka di akherat yang tidak ada  taubat didalamnya dia akan buta.

Al Hasan berkata :  "Barang siapa didunia kafir sesat maka di akherat dia buta dan sesat jalannya."
Dikatakan  : barang siapa di dunia buta dari hujah-hujah Allah, maka Allah dihari kiamat  membangkitannya dalam keadaan buta sebagaimana firman Allah : “Dan  barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada  hari kiamat dalam keadaan buta" (thaha ayat 124)

dan firman Allah :"  Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka  mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah  neraka jahannam. "(al isra' ayat 97).
Wallohu a'lam.

baca juga => MAKNA “QORIB” DALAM QS AL-BAQOROH : 186

MAKNA “QORIB” DALAM QS AL-BAQOROH : 186


Firman Allah dalam QS al-Baqarah ayat 186 :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ  الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي  لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku  bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah  dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon  kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan  hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam  kebenaran.

- Tafsir al-Qurtuby (2/287) :
الثانية : قوله تعالى : فإني قريب أي بالإجابة ، وقيل بالعلم ، وقيل : قريب من أوليائي بالإفضال والإنعام .

Permasalahan kedua : firman Allah " bahwasanya Aku adalah dekat ", maksudnya dekat adalah dekat dengan pengabulan doa,  waqila dekat dengan ilmu, waqila dekat dari kekasih-Ku dengan keutamaan dan anugrah .

- Tafsir al-Kabir  :
أما قوله تعالى : ( فإني قريب ) ففيه مسائل :

المسألة الأولى : اعلم أنه ليس المراد من هذا القرب بالجهة والمكان ، بل المراد منه القرب بالعلم والحفظ

Adapun firman Allah " bahwasanya Aku adalah dekat ". Terdapat beberapa permasalahan. Permasalahan pertama :  ketahuilah bahwa yang dimaksud ayat ini bukanlah dekat dengan arah dan tempat, tetapi maksudnya adalah dekat dengan ilmu dan penjagaan.

- Tafsir Jalalain :
وإذا سألك عبادي عني فإني قريب منهم بعلمي فأخبرهم بذلك

Dan  apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),  bahwasanya Aku adalah dekat dari mereka dengan ilmu-Ku, maka beritahukanlah kepada mereka hal itu. Wallohu a'lam.

baca juga => MAKSUD “BAYANG-BAYANG” DALAM QS.AL-FURQON : 45

MAKSUD “BAYANG-BAYANG” DALAM QS.AL-FURQON : 45


Firman Allah dalam QS Al-furqon ayat 45 :

أَلَمْ تَرَ إِلَىٰ رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا

“Apakah  kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia  memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki  niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan  matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu”.
Mulai  dari bagian ini Allah Swt. menjelaskan dalil-dalil yang menunjuk­kan  keberadaan dan kekuasaan-Nya yang sempurna, bahwa Dialah yang  menciptakan segala sesuatu yang beraneka ragam lagi kontradiksi itu.  Untuk itu Allah Swt. berfirman:

{أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ}

Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang? (Al-Furqan: 45)
Ibnu  Abbas, Ibnu Umar, Abul Aliyah, Abu Malik, Masruq, Mujahid, Sa'id ibnu  Jubair, An-Nakha'i, Ad-Dahhak, Al-Hasan, dan Qatadah telah mengatakan  bahwa hal itu terjadi di antara terbitnya fajar sampai dengan terbitnya  matahari.
{وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا}

dan kalau Dia menghendaki, niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu. (Al-Furqan: 45)
Yaitu tetap dan tidak hilang, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain melalui firman-Nya : {قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ جَعَلَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ اللَّيْلَ سَرْمَدًا}

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untuk kalian malam itu terus-menerus.” (Al-Qasas: 71)

Adapun firman Allah Swt :
{ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلا}

kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu. (Al-Furqan: 45).
Artinya,  seandainya matahari tidak terbit atas bayang-bayang itu, tentulah  bayang-bayang tidak akan ada; karena sesungguhnya sesuatu itu tidak  dikenal melainkan melalui lawannya. Qatadah dan As-Saddi mengatakan  bahwa matahari sebagai petunjuk yang mengiringi dan mengikutinya hingga  sinar matahari berada di atasnya.

Wallahu a’lam.

baca juga => TAFSIR QS AL-A'ROF 96 DAN QS LUQMAN 13 : BERKAH DARI LANGIT DAN BUMI

TAFSIR QS AL-A'ROF 96 DAN QS LUQMAN 13 : BERKAH DARI LANGIT DAN BUMI


Tafsir Surat Al-A'raf, ayat 96 :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ


Jikalau penduduk kota-kota beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk kota-kota itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk kota-kota itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalah naik ketika mereka sedang bermain-main? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.
Allah Swt. menceritakan perihal tipisnya keimanan penduduk kota-kota yang para rasul diutus kepada mereka. Hal ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

فَلَوْلا كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ


Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu. (Yunus: 98)
Maksudnya, tidak ada suatu penduduk kota pun yang seluruhnya beriman kecuali kaum Nabi Yunus. Demikian itu terjadi setelah mereka menyaksikan adanya azab. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain:

وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ * فَآمَنُوا فَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ


Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih, lalu mereka beriman. Karena itu, Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu. (Ash-Shaffat: 147-148)

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ


Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun. (Saba: 34), hingga akhir ayat.

Adapun firman Allah Swt,:
{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا}

Jikalau penduduk kota-kota beriman dan bertakwa. (Al-A'raf: 96)
Yaitu hati mereka beriman kepada apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, membenarkannya, mengikutinya, dan bertakwa dengan mengerjakan amal-amal ketaatan dan meninggalkan semua yang diharamkan.
{لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ}

pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (Al-A'raf: 96)
Maksudnya hujan dari langit dan tetumbuhan dari bumi. Tetapi dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}

tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-A'raf: 96)
Artinya, tetapi mereka mendustakan rasul-rasul-Nya, maka kami siksa mereka dengan menimpakan kebinasaan atas mereka karena perbuatan-perbuatan dosa dan hal-hal haram yang mereka kerjakan.
Kemudian Allah Swt. berfirman memperingatkan orang-orang yang berani menentang perintah-perintah-Nya dan bersikap berani melanggar larangan-Iarangan-Nya, yaitu:
{أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى}

Maka apakah penduduk kota-kota itu merasa aman. (Al-A'raf: 97)
Maksudnya penduduk kota-kota yang kafir.
{أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا}

dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka. (Al-A'raf: 97)
Yakni azab dan pembalasan Kami.
{بَيَاتًا}

di malam hari. (Al-A'raf: 97)
Al bayat artinya di malam hari.
{وَهُمْ نَائِمُونَ * أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ}

di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk kota-kota itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalah naik ketika mereka sedang bermain? (Al-A'raf: 97-98)
Yaitu di saat mereka sedang sibuk dan lalai.
{أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ}

Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? (Al-A'raf: 99)
Yakni azab, pembalasan, dan kekuasaan-Nyaterhadap diri mereka serta siksaan-Nya terhadap mereka di saat mereka dalam keadaan lalai dan tidak menyadari kedatangannya
{فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ}

Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (Al-A'raf: 99)
Karena itulah Al-Hasan Al-Basri rahimahullah pernah mengatakan bahwa orang mukmin mengerjakan amal-amal ketaatan, sedangkan hatinya dalam keadaan takut, bergetar, dan khawatir; sementara orang yang durhaka mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat dengan penuh rasa aman.

Wallohu a'lam.

baca juga => TAFSIR QS AL-ISRO AYAT 24 : MENDO'AKAN KEDUA ORANG TUA

TAFSIR QS AL-ISRO AYAT 24 : MENDO'AKAN KEDUA ORANG TUA


PERTANYAAN :
  Firman Allah :

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً

Artinya: " Dan rendahkanlah dirimou terhadap mereka berdua(kedua ortumu dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS Al-Isra' 17:24).
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk mendoakan kedua orang tua kita. Pertanyaan : Berapa kali seharusnya kita mendoakan kedua orang tua kita ?

Coba kita buka Kitab Tafsir Al-kabir :

البحث الثالث : ظاهر الأمر للوجوب فقوله : ( وقل ربي ارحمهما كما ربياني صغيرا ) أمر وظاهر الأمر لا يفيد التكرار فيكفي في العمل بمقتضى هذه الآية ذكر هذا القول مرة واحدة ،

سئل سفيان : كم يدعو الإنسان لوالديه ؟ أفي اليوم مرة أو في الشهر أو في السنة ؟ فقال : نرجو أن يجزئه إذا دعا لهما في أواخر التشهدات كما أن الله تعالى قال : ( ياأيها الذين آمنوا صلوا عليه ) [ الأحزاب : 56 ] فكانوا يرون أن التشهد يجزي عن الصلاة على النبي - صلى الله عليه وسلم - ،

وكما أن الله تعالى قال : ( واذكروا الله في أيام معدودات ) [ البقرة : 203 ]  فهم يكررون في أدبار الصلوات

Pembahasan ketiga : Hal yang jelas dari sebuah perintah adalah wajib, maka firman Allah Ta'ala :
"ﻭﻗﻞ ﺭﺑﻲ ﺍﺭﺣﻤﻬﻤﺎ ﻛﻤﺎ ﺭﺑﻴﺎﻧﻲ ﺻﻐﻴﺮﺍ"

"Dan katakanlah : wahai Tuhanku, aku memohon rahmatillah kedua orang tua sebagaimana mereka berdua mendidikku di waktu kecil."
adalah perintah. Dan yang tampak dari perintah tidak menjelaskan terhadap pengulangan. maka cukup beramal sesuai dengan tuntutan ayat ini, dengan menyebutkan ucapan tersebut satu kali. Imam Sufyan ditanya : berapa kali seseorang mendoakan orang tuanya ? apakah sekali dalam sehari, sebulan atau setahun ?
Imam Sufyan menjawab : kami harap mencukupinya ketika seseorang berdoa bagi kedua orang tuanya di akhir-akhir tasyahud, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman :
ياﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﺻﻠﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ [ ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ 56 : ]

"Wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah kalian pada Nabi Muhammad." (al-ahzab : 56)
para ulama' berpendapat bahwa tasyahud mencukupi dari sholawat kepada Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam.
Dan sebagaimana Allah Ta'ala berfirman :
ﻭﺍﺫﻛﺮﻭﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻳﺎﻡ ﻣﻌﺪﻭﺩﺍﺕ [ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ :203 ]

"Dan menyebutlah/ingatlah kalian semua kepada Allah di hari-hari yang dihitung." (al-baqoroh : 203)
maka para ulama'mengulang-ngulanginya di setiap setelah sholat. Wallohu a'lam.

baca juga => TAFSIR QS AR-RO'DU AYAT 11 : MERUBAH NASIB KEADAAN SUATU KAUM

TAFSIR QS AR-RO'DU AYAT 11 : MERUBAH NASIB KEADAAN SUATU KAUM

Allah berfirman :

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗإِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗوَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚوَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ


Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Qs Ar-ro'du : 11).

Dalam kitab Tafsir Jalalain dijelaskan : (Baginya) manusia (ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran) para malaikat yang bertugas mengawasinya (di muka) di hadapannya (dan di belakangnya) dari belakangnya (mereka menjaganya atas perintah Allah) berdasarkan perintah Allah, dari gangguan jin dan makhluk-makhluk yang lainnya. (Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum) artinya Dia tidak mencabut dari mereka nikmat-Nya (sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri) dari keadaan yang baik dengan melakukan perbuatan durhaka. (Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum) yakni menimpakan azab (maka tak ada yang dapat menolaknya) dari siksaan-siksaan tersebut dan pula dari hal-hal lainnya yang telah dipastikan-Nya (dan sekali-kali tak ada bagi mereka) bagi orang-orang yang telah dikehendaki keburukan oleh Allah (selain Dia) selain Allah sendiri (seorang penolong pun) yang dapat mencegah datangnya azab Allah terhadap mereka. Huruf min di sini adalah zaidah. Wallohu a'lam.

baca juga => TAFSIR QS. AL- FAJR AYAT 27-30 : JIWA YANG TENANG

TAFSIR QS. AL- FAJR AYAT 27-30 : JIWA YANG TENANG


PERTANYAAN :
siapakah yang dimaksud oleh Allah dalam suroh Al-Fajr ayat 27 sampai 30 ?

JAWABAN :
  Berikut teks Surat al fajr ayat 27-30 :

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾


Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Dalam kitab tafsir ibnu katsir dijelaskan : Dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah : " Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku " Ibnu abbas berkata : ayat tersebut turun dan Abu bakar sedang duduk kemudian berkata : " wahai Rasululloh, betapa indahnya ini ?", kemudian Rasul bersabda : " adapun ayat ini akan dikatakan kepadamu " (HR Ibnu abi hatim ).

Dari said bin jubair berkata :" aku membaca disamping Nabi shollallohu alaihi wasallam ayat :" Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku " kemudian abu bakar berkata : " sesungguhnya ayat ini indah "kemudian Nabi shollallohu alaihi wasallam berkata kepadanya :" sesungguhnya malaikat akan mengatakan ayat ini kepadamu ketika kematian " (HR Ibnu abi hatim dan Ibnu jarir, mursal jayyid).

Dari said bin jubair berkata :Ibnu abbas wafat di taif, kemudian datang seekor burung yang tidak diketahui bentuknya lalu masuk kedalam kerandanya, kemudian burung tsb tidak ada kelihatan keluar darinya.kemudian ketika dikebumikan, ada yang membaca ayat ini disamping kubur tapi tidak dketahui siapa yang membacanya :" Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku " (Riwayat Ibnu abi hatim dan At Tabrani).

Dari qubat bin ruzain abi hasyim berkata :" aku ditawan di negara romawi, kami dikumpulkan oleh sang raja romawi dan dia menawarkan agamanya kepada kami, barang siapa menolak maka dipancung, ada tiga orang yang murtad kemudian orang ke empat tidak mau masuk keagama sang raja dan akhirnya dipancung dan kepalanya dibuang di sungai daerah sana.kepala tersebut tenggelam kemudian terapung di atas air sambil melihat ke tiga orang yang murtad tadi dan berkata : " Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku "kemdian kepala tersebut tenggelam kedalam air.hampir saja orang-orang nasrani masuk islam dan singgasana sang raja jatuh.ketiga orang tadi kembali masuk islam, lalu datanglah tebusan dari kholifah Ja'far al mansur dan kami selamat. Wallohu a'lam bis showab.
- kitab tafsir ibnu katsir (8/401)

baca juga => ASBABUN NUZUL QS AL-MUDDATSIR AYAT 11-26