Saturday, May 12, 2018

MACAM-MACAM HADIST BESERTA PENGERTIANNYA

Hadits-Hadits Maqbûl (Dapat Diterima)

1.Hadits Shahih Li Dzâtih (Shahih Yang Memenuhi Kriteria) Hadits Shahih adalah hadits yang muttasil sanadnya (jalur periwayatan), melalui perawi yang terpercaya (al-Adl) danmempunyai tingkat akurasi hapalan/ tulisan yang tinggi (al-dhabth), tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan mayoritas ahli hadits (Syadz) serta selamat dari cacat (al-'Illat).Orang yang pertama kali meprakrarsai pengumpulan hadits-hadits Shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari yang kemudian di lanjutkan oleh muridnya Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury. Meskipun dalam kurun sebelumnya sudah dilakukan hal serupa oleh Imam Malik, hanya saja disinyalir masih ditemukan hadits lain yang kurang begitu jelas jalur periwayatannya. Dan hadits dari al-Bukhari lebih di unggulkan di banding hadits dari Muslim terutama karena beliau menetapkan persyaratan dalam hadits muan'an bahwa masing-masing perawi harus ditetapkan bertemu atau mendengar langsung darinya.

2.Hadits Hasan Li Dzâtih (Hasan Karena Memenuhi Kriteria)Hadits yang muttasil sanadnya (jalur periwayatan), melalui jalur orang yang terpercaya (al-Adl), selamat dari sifat syadz dan al-'Illat, seperti dalam hadits Shahih. Hanya saja perawinya mempunyai tingkat akurasi hapalan/ tulisan sebawah perawi hadits Shahih.

3.Hadits Shahih Li Ghairihi (Shahih Karena Hadits Lain)Adalah hadits hasan yang memenuhi kriteria hasan (li dzatihi) dan kemudian dijumpai periwayatan dari jalur lain yang sama atau lebih kuat statusnya (Shahih).

4.Hadits Hasan Li GhairihiAdalah hadits yang tergolong dza'if yang tidak terlalu, dimana perawinya dzaif namun tidak sampai menurunkannya dari derajat perawi terpercaya lainnya. Atau tergolong mudallis yang tidak secara jelas dipaparkan ulama lain, serta mungkin sanadnya tergolong munqathi'. Dalam hal ini supaya masuk dalam pengertian hasan li ghairihi, disyaratkan dua hal. Pertama, tidak terkena sifat syadz dalam haditsnya. Dan kedua, dijumpai riwayat dari jalur lain yang sama atau lebih kuat secara lafadz ataupun makna, meskipun hanya cocok dalam sebagian isi matannya. Dicontohkan seperti hadits-hadits yang tercantum dalam Sunan Al-Turmudzi, dengan bahasa "hadits ini adalah hasan".

Hadits Dha'if
Yaitu hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits Shahih dan hasan. Yang termasuk jenis hadits ini, yakni yang dipastikan dha'if ada sekitar empat belas jenis hadits: al-Munqathi', al-Mu'dlal, al-Mu'allaq, as-Syâdz, al-Mushahaf, al-Maqlûb, al-Mudhtharrib, al-Mu'allal, al-Mudallas fî al-Isnâd bi la Tashrîh fi as-Samâ', al-Munkar bi ma'na Mukhâlafah at-Tsiqah, al-Mursal al-Khafy, al-Matrûk, al-Mathrûh, dan al-Maudhû'. Terdapat perbedaan pandang dari beberapa ulama mengenai kuhujjahan hadits dha'if :

1.Menurut sebagian ulama seperti Imam Ahmad dan Abu Dawud, hadits dla'if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal haram, ataupun dalam hukum wajib dan fardlu. Namun jika tidak ditemukan hadits lain. Hal ini sebatas pada hadits dha'if yang tidak terlalu (ghaira syadîd ad-dhu'fi).

2.Menurut mayoritas ulama hadits, ulama fiqh dan selainnya, hadits dha'if sunah diamalkan dalam urusan keutamaan amaliyah baik berupa hukum makruh ataupun sunah.

3.Menurut Al-Qadzi Abi Bakar Ibn Al-'Araby, tidak diperbolehkan mengamalkan hadits dha'if secara mutlak.

Syarat Mengamalkan Hadits Dha'if
1.Status ke-dha'if-annya tidak terlalu (ghaira syadîd al-dhu'fi).2.Harus didasari oleh dalil umum yang mendukung.3.Tidak meyakini tetap (tsubût) nya hadits dha'if sewaktu mengamalkan. Agar terhindar dari menisbatkan pada Nabi suatu hal yang belum pernah diucapkan beliau.

Hadits Maudhû' (Palsu)
Hadits yang disandarkan pada Nabi dengan kebohongan dan sebenarnya tidak ada keterkaitan sanad dengan Nabi dan pada hakikatnya ini bukan hadits. Hanya saja penyebutannya sebagai hadits memandang anggapan dari perawinya.Kriteria Hadits Maudhu' Dalam kitab Taysîr Mushthalah al-Hadîts dan Al-Bâ'its al-Khabîts dipaparkan beberapa kriteria sebuah hadits disebut maudlû', yakni:

1.Ada pengakuan dari orang yang me-maudlu'-kan hadits tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari dalam Târîkh al-Awsâth dari Umar bin Shibah bin Imran al-Tamîmî bahwa beliau berkata: "Aku telah memaudhu'kan khutbah Nabi". Dan juga Maisarah bin Abdi Râbbih al-Fârisi bahwa beliau pernah me-maudlû'-kan hadits mengenai beberapa keutaman Al-Qur'an. Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam yang dijuluki Nûh al-Jâmi' juga mengakui pernah me-maudlû'-kan hadits.

2.Ada indikasi dari perawi, semisal perawi dari kalangan Râfidhah atau kaum radikal dengan kepentingan-kepentingan tertentu.

3.Pembuktian penanggalan atau masa yang jelas salah.

4.Ada indikasi dari hadits yang diriwayatkan. Semisal hadits ini lafadznya lemah, maknanya tidak teratur atau tidak sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur'an dan al-hadits

5.Menurut as-Subki, setiap hadits yang mengindikasikan kebathilan dan tidak mungkin dita'wîl (arahkan pada makna yang benar), maka hadits itu adalah kebohongan.

6.Menurut Ibn al-Jawzi, sangat tepat orang yang mengatakan, apabila kamu melihat hadits bertentangan dengan akal (yang salim), bertentangan dengan dalil manqûl serta melawan kaidah ushul, maka tahulah anda bahwa itu adalah hadits maudhu'.

baca juga => HADIST "ANTUM A'LAMU BI AMRI DUNYAKUM"

HADIST "ANTUM A'LAMU BI AMRI DUNYAKUM"

PERTANYAAN :
"Antum a'lamu Bi amri Dunyakum" Apakah nih HADIST apa Bukan ? Maksud nya Apa ?

JAWABAN :
"KALIAN LEBIH TAHU URUSAN DUNIAMU"

Dari Thalhah Bin ‘Ubaidillah ra, ia berkata “Aku bersama Rasulullah berjalan melewati beberapa kebun kurma, Kemudian Rasulullah bertanya “Apa yang mereka lakukan ?”. Orang-orang sekitarpun menjawab “Mereka menyerbukkan dengan menjadikan benih pejantan masuk kedalam benih betinanya, hingga jadilah penyerbukan”.
Rasulullah bersabda “Aku menduga, Andai mereka meninggalkannya, mungkin lebih baik”, Lalu mereka membiarkannya, dan hasil kurmanya berkurang. Mereka bertanya kepada Nabi, dan Rasulullahpun bersabda “Apabila penyerbukan tersebut memang bermanfaat bagi mereka, maka lakukanlah sesungguhnya aku hanya menduga saja, janganlah kalian mengambil dugaan yang ku buat, Namun apabila aku mengabarkan pada kalian sesuatu yang datangnya dari Allah, maka ambillah, sesungguhnya aku tidak akan pernah berbohong atas apa yang dating dari Allah (dalam riwayat lain Rasulullah bersabda “Kalian lebih tahu urusan duniamu)” (HR. Muslim)

HIKMAH DIBALIK HADITS DI ATAS
Imam Nawawy dalam Syarh Muslim menyatakan wajibnya menjalankan perintah Nabi yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat bukan apa yang yang dituturkan oleh Nabi yang berdasarkan dugaan ataupun pendapat yang bersifat pribadi (bukan bersumber dari wahyu) seperti dalam masalah-masalah pekerjaan, ketrampilan dan urusan dunia lainnya.
( باب وجوب امتثال ما قاله شرعا دون ما ذكره صلى الله عليه و سلم )

من معايش الدنيا على سبيل الرأي فيه حديث ابار النخل وانه صلى الله عليه و سلم قال [ 2361 ] ( ما اظن يعني ذلك شيئا فخرج شيصا فقال ان كان ينفعهم ذلك فليصنعوه فاني انما ظننت ظنا فلا تؤاخذوني بالظن ولكن اذا حدثتكم عن الله شيئا فخذوا به ) وفي رواية [ 2362 ] اذا امرتكم بشئ من دينكم فخذوا به واذا امرتكم بشئ من رأى فانما انا بشر وفي رواية [ 2363 ] أنتم أعلم بامر دنياكم قال العلماء قوله صلى الله عليه و سلم من رأيي اي في امر الدنيا ومعايشها لا على التشريع فأما ما قاله باجتهاده صلى الله عليه و سلم ورآه شرعا يجب العمل به وليس آبار النخل من هذا النوع بل من النوع المذكور قبله مع ان لفظة الرأي إنما أتى بها عكرمة على المعنى لقوله في آخر الحديث قال عكرمة او نحو هذا فلم يخبر بلفظ النبي صلى الله عليه و سلم محققا قال العلماء ولم يكن هذا القول خبرا وانما كان ظنا كما بينه في هذه الروايات قالوا ورأيه صلى الله عليه و سلم في أمور المعايش وظنه كغيره فلا يمتنع وقوع مثل هذا ولا نقص في ذلك وسببه تعلق هممهم بالآخرة ومعارفها والله أعلم

[ Syarh an-Nawaawy alaa Muslim XV/115 ].

Dalam segala urusan dunia yang tidak berkaitan dengan hokum syariat (halal, haram, sah, rusak dll.) hendaknya seseorang berusaha untuk mendalaminya sendiri dengan mencoba dan melakukan berbagai percobaan agar dapat meraih kesuksesan.
وَحَاصِلُهَا أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَمَا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ رَأَى أَهْلَهَا يُؤَبِّرُونَ النَّخْل أَيْ يُلَقِّحُونَ إِنَاثَ النَّخْل بِطَلْعِ ذُكُورِهَا ، فَقَال لَهُمْ : لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلَحَ ، فَتَرَكُوهُ فَشَاصَ ؛ أَيْ فَسَدَ وَصَارَ حَمْلُهُ شِيصًا وَهُوَ رَدِيءُ التَّمْرِ فَمَرَّ بِهِمْ فَقَال : مَا لِنَخْلِكُمْ ؟ قَالُوا : قُلْتَ كَذَا وَكَذَا ، قَال : أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ (1) .

هَذَا الْخَبَرُ إِنْ دَل عَلَى شَيْءٍ فَإِنَّمَا يَدُل عَلَى أَنَّ الأُْمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الَّتِي لاَ صِلَةَ لَهَا بِالتَّشْرِيعِ تَحْلِيلاً أَوْ تَحْرِيمًا أَوْ صِحَّةً أَوْ فَسَادًا ، بَل هِيَ مِنْ الأُْمُورِ التَّجْرِيبِيَّةِ ، لاَ تَدْخُل تَحْتَ مُهِمَّةِ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمُبَلِّغٍ عَنْ رَبِّهِ ، بَل هَذَا الْحَدِيثُ يَدُل عَلَى أَنَّ مِثْل هَذِهِ الأُْمُورِ خَاضِعَةٌ لِلتَّجْرِبَةِ ، وَالرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا كَانَ قُدْوَةً عَمَلِيَّةً لِحَثِّنَا عَلَى أَنَّ الأُْمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الْبَحْتَةَ الَّتِي لاَ عَلاَقَةَ لَهَا بِالتَّشْرِيعِ يَنْبَغِي عَلَيْنَا أَنْ نَبْذُل الْجَهْدَ فِي مَعْرِفَةِ مَا هُوَ الأَْصْلَحُ مِنْ غَيْرِهِ ، وَشَتَّانَ بَيْنَ هَذِهِ الْحَادِثَةِ وَبَيْنَ أَنْ يَرِدَ عَنْ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ هَذَا حَلاَلٌ أَوْ حَرَامٌ ، أَوْ أَنَّ هَذَا الأَْمْرَ مُوجِبٌ لِلْعُقُوبَةِ أَوْ غَيْرُ مُوجِبٍ ، أَوْ أَنَّ هَذَا الْبَيْعَ صَحِيحٌ أَوْ غَيْرُ صَحِيحٍ ؛ لأَِنَّ هَذِهِ الصُّوَرَ مِنْ صُلْبِ وَظِيفَةِ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي أَوْجَبَ اللَّهُ عَلَيْنَا طَاعَتَهُ فِي كُل مَا يُبَلِّغُ عَنْ رَبِّهِ .

[ Al-Mausuuah al-Fiqhiyyah I/45 ].

Dalam urusan dunia yang tidak berkaitan dengan syariat, baik berupa profesi ataupun adat istiadat diperkenankan terjadi perubahan-perubahan dan pengembangan-pengenbangan baru.
{ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ } ) ؛ لِأَنَّ بِعْثَتِي إنَّمَا هِيَ لِلدِّينِ لَا لِلدُّنْيَا فَأَنْتُمْ لَا تَتَوَقَّفُونَ فِي أَمْرِ الدُّنْيَا عَلَيَّ فَفِيهِ إشَارَةٌ إلَى الْإِذْنِ إلَى مَا يَحْدُثُ فِي أَمْرِ الدُّنْيَا فَلَا تَكُونُ الْعَادِيَّاتُ مَمْنُوعَةً فَلَا تَتَنَاوَلُ إلَيْهَا .

[ Bariiqh al-Mahmuudiyyah I/235 ].

Rasulullah adalah sosok yang hampir disetiap waktunya tidak pernah berpaling dari urusan akhirat sehingga saat ditanya tentang urusan duniawi bisa saja beliau keliru sebagaimana manusia pada umumnya, atau beliau menjawabnya dengan “Kalian lebih tahu urusan duniamu”.
قدم نبي الله وفي نسخة النبي المدينة أي طابة السكينة وهم أي أهلها يؤبرون النخل جملة حالية أي يلقحون كما في رواية طلحة بن عبيد الله يعني يجعلون الذكر في الأنثى وهو بتشديد الباء وروي يأبرون بتخفيف الباء المكسورة وقد يضم والأبر والآبار والتأبير الإصلاح والمعنى يشققون طلع الإناث ويذرون فيه طلع الذكر ليجيء ثمره جيدا إذ النخلة خلقت من فضلة طينة

آدم على ما ورد فلا بد عادة في صلاح نتاجها من اجتماع طلع الذكر مع طلع الأنثى كما أنه لا بد عادة في تخلق ابن آدم من اجتماع مني الذكر والأنثى فقال ما تصنعون ما استفهامية قالوا كنا نصنعه أي هذا دأبنا وعادتنا قال لعلكم لو لم تفعلوا كان وفي نسخة لكان خيرا أي تتعبون فيما لا ينفع كما جاء في تلك الرواية ما أظن يغني ذلك شيئا فتركوه أي التأبير فنقصت أي النخل ثمارها أو انتقصت ثمارها فإن النقص متعد ولازم أي لم يأت منها شيء صالح قال أي رافع فذكروا أي أصحاب النخيل ذلك أي النقصان له عليه الصلاة والسلام فقال إنما أنا بشر أي فليس لي إطلاع على المغيبات وإنما ذلك شيء قلته بحسب الظن الشهودي إذ ذاك إلى مسبب الأسباب واستغراقي في عجائب قدرته وغرائب قوته التي لا تتوقف على سبب لكنه تعالى قضى ليظهر حكمته الباهرة وتتفاوت شهود عباده في الدنيا والآخرة بأن دائرة الأسباب لا بد من مراعاتها إذا أمرتكم وفي نسخة أمرتم في الموضعين بشيء من دينكم وفي نسخة صحيحة من أمر دينكم أي مما ينفعكم في أمر دينكم فخذوا به أي افعلوه فإني إنما نطقت به عن الوحي وإذا أمرتكم بشيء من رأيي وفي نسخة من رأي أي متعلق بالدنيا التي لا ارتباط لها بالدين وأخطأت فلا تستبعدوا وقيل فمن شاء فعله ومن شاء لم يفعله فإنما أنا بشر أي فإني بشر أخطىء وأصيب كما جاء في خبر أحمد والظن يخطىء ويصيب وفي الحديث دلالة على أنه عليه الصلاة والسلام ما كان يلتفت غالبا إلا إلى الأمور الأخروية وفي المصابيح فقال عليه الصلاة والسلام أنتم أعلم بأمر دنياكم رواه مسلم

[ Marqaah al-Mafaatiih Syarh al-Misykaah II/5 ].

Pentingnya menimbang pengalaman dari orang lain, berdiskusi, bermusyawarah karena kekurangan manusia bisa tertutupi oleh kelebihan selainnya dalam setiap permasalahan baik duniwi ataupun ukhrawy sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. “Dan bermusyawarahlah kalian dalam setiap perkara” (QS. Ali Imraan, 159).
(استرشدوا) بكسر المعجمة (العاقل) أي الكامل العقل ، قال للكمال لا للحقيقة (ترشدوا) بفتح أوله وضم ثالثه كما ضبطه جمع.

أي اطلبوا منه ندبا مؤكدا الإرشاد وإلى إصابة الصواب يحصل لكم الإتصاف بالرشد والسداد ، ولكن يختلف الحال باختلاف الأمر المطلوب ، فتشاور في أمور الدين وشؤون الآخرة الذين عقلوا الأمر والنهي عن الله وعقلوا بالعقل النفوس عن موارد الهوى وكفوها بالخوف عن موارد الردى وألزموها طرق سبل الهدى.

وفي أمور الدنيا من جرب الأمور ومارس المحبوب والمحذور ، ولا تعكس ، ألا ترى أنه صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة مر بقوم يلقحون نخلا فقال لو لم تفعلوا كان لصلح ، قتركوا ، فخرج شيصا ، فقال أنتم أعلم بأمر دنياكم.

رواه مسلم ، وروى أحمد عن طلحة قال مررت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في نخل فرأى قوما يلقحون نخلا فقال ما تصنعون ؟ قالوا كنا نضعه ، قال لعلكم لو لم تفعلوا كان خيرا ، فتركوه فنقصت ثمرته ، فقال إنما أنا بشر مثلكم وإن الظن يخطئ ويصيب ولكن ما قلت لكم قال الله فلن أكذب على الله فلن أكذب على الله.

اه. وقد أمر الله نبيه بالاستشارة مع كونه أرجح الناس عقلا.

فقال تعالى * (وشاورهم في الأمر) * (آل عمران : 159) وأثنى تعالى على فاعليها في قوله * (وأمرهم شورى بينهم) * (الشورى : 38)

[ Faidh al-Qadiir I/625 ].

Wallaahu A'lamu Bis Showaab.

baca juga => Berkumpulnya Delapan Golongan Dan 8 Perkara

Berkumpulnya Delapan Golongan Dan 8 Perkara


PERTANYAAN : "MAN JALASA MA'AN NISA' ZADALLAHUL JAHLA WAS SYAHWATA". Barang siapa yang duduk bersama wanita maka Allah akan menambahkan kbodohan dan syahwat kepadanya..

> apakah ungkapan di atas adalah hadits or hanya Maqolahnya ulama'..??
> apa maksud dari ungkapan di atas..??

JAWABAN :
سلوة الأحزان للاجتناب عن مجالسة الأحداث والنسوان I/40

وقال بعض الحكماء: من جلس مع ثمانية أصناف زاد فيه ثمانية أشياء:

من جلس مع الأغنياء زاده قلة الشكر والرضا بقسمة الله تعالى أو عكسها ومن جلس مع السلطان زاده الكبر، وقساوة القلب. ومن جلس مع النساء زاده الله الجهل والشهوة.

ومن جلس مع الصبيان زاده الله اللهو والمزاح ومن جلس مع الفساق زاده الله الجراءة على الذنوب وتسويف التوبة ومن جلس مع الصالحين زاده الله الرغبة في الطاعات ومن جلس مع العلماء زاده الله العلم والورع

Berkata sebagian Ahli Hikamah “Seseorang yang berkumpul dengan delapan golongan maka akan tertambahkan dalam dirinya delapan macam perkara :
1.Barang siapa sering berkumpul dengan orang-orang kaya, maka akan tertambahkan dalam dirinya kurangnya rasa syukur dan kurang ridho atas bagian Allah padanya.

2.Barang siapa yang sering berkumpul dengan fakir miskin, maka akan tertambahkan dalam dirinya sifat pandai bersyukur dan rela dengan apa yang telah Allah berikan.

3.Barang siapa sering berkumpul dengan penguasa, maka akan tertambahkan dalam dirinya sifat sombong dan kerasnya hati.

4.Barang siapa laki-laki suka berkumpul dengan wanita, maka akan tertambahkan kebodohan dan syahwat dalam dirinya.

5.Barang siapa sering berkumpul dengan anak-anak, maka akan tertambahkan suka bermain-main dan canda tawa dalam dirinya.

6.Barang siapa sering berkumpul dengan para pendosa besar, maka akan tertambahkan dalam dirinya berani berbuat dosa dan maksyiat serta suka menunda-nunda Taubat.

7.Barang siapa sering berkumpul dengan para sholihin maka akan tertambahkan dalam dirinya ketaatan pada Tuhannya
.
8.Barang siapa sering berkumpul dengan para ulama maka akan tertambahkan dalam dirinya ilmu dan sifat wara'i". [ Salwah al-Akhzaan Lil Ijtinaab an Mujaalasah al-Ahdaats wan Niswaan I/40 ].

baca juga =>  HADITS : BID'AH - TIDAK SEMUA SESAT

HADITS : BID'AH - TIDAK SEMUA SESAT


"Semua bid'ah sesat, mengapa ada bid'ah hasanah dan bid’ah sayyiah?"
Saya pernah dengar hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Semua bid’ah itu sesat
Tetapi saya juga dengar dari kyai-kyai katanya bid’ah itu ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyiah, mana itu yang benar?

Kalau bid’ah Dholalah itu lafadnya umum, tiap-tiap lafad umum yaitu biasanya kemasukan takhsis, contohnya:
Hadits:
كُلُّ شَيْئٍ خُلِقَ مِنَ اْلمَاءِ

Segala sesuatu itu dibikin dari air
Apakah malaikat juga dibikin dari air? Iblis apakah dari air?
Hadits:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ

Segala yang memabukan itu khomer, dan semua khomer itu haram
Kecubung itu memabukan, apakah itu juga namanya khomer? Khomer bagi orang yang مُضْطَرٌّ apakah juga haram hukumnya?
Hadits:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ

Semua kamu itu penggembala, dan semua kamu itu ditanya dari hal ro’iyahnya
Apakah orang gila dan orang makruh, juga masuk dalam hadits ini? Kesemuanya itu dijawab tidak? Demikian pula kalau bid’ah dholalah. Apakah karena hadits ini maka saudara sampai hati mengatakan bahwa perbuatan Utsman bin Affan yang memerintahkan adzan jum’at dua kali itu dholalah? Dan Umar bin Khottob yang menjalankan tarawih dua puluh rakaat itu juga dholalah? Baca Barzanji yang isinya sejarah Maulid Nabi itu juga dholalah? Mendirikan pondok pesantren dan madarasah itu juga dholalah? Dan saudara sendiri yang tidak dholalah. Apalagi kalau menurut riwayat yang diriwayatakan oleh Ad Dailamy Fi Musnadil Firdausi, hadits itu berbunyi:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إِلاَّ فِي عِبَادَةٍ

Kami persilahkan melihat Kunuzul Haqoiq fi Hadits Khoirul Kholaiq juz Tsani Shohifah 39.

Bagaimana kebenaran hadits berikut
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هذَا مَا َليْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Hadits itu memang benar diceritakan oleh Bukhori wa Muslim wa Abi Dawud wa Ibnu Majah dari Aisyah, akan tetapi perhatikanlah benar-benar terjemahannya! “Barang siapa mengada-ada (menimbulkan) di dalam agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber darinya, maka ia ditolak”. Lalu apalagi yang saudara maksud? Kalau kita mengerjakan sholat shubuh empat rakaat, atau sholat mayit pakai ruku’, sujud, itu memang ditolak, sebab yang demikian itu tidak ada sumbernya dari agama. Adapun yang ada sumbernya dari agama, sebagaimana masalah-masalah yang disebut dimuka (adzan jum’at dua kali, tarawih dua puluh rakaat dan lain sebagainya) ia tidak termasuk yang ditolak.

Sesungguhnya apakah yang disebut bid’ah itu?

Memang arti Bid’ah ini sesungguhnya harus ditanyakan terlebih dahulu, sebelum disodorkannya hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Bid’ah itu ada dua macam:
1.Bid’ah syar’iyah
2.bid’ah lughowiyah.
Tiap-tiap ucapan, perbuatan atau i’tikad yang tidak bisa disaksikan kebenarannya oleh ushulis syar’iyah (Al Kitab, Sunah, Al Ijma’, Qiyas) maka itu Bid’ah Mardudah. Inilah yang dimaksud oleh haditsnya Aisyah tersebut di atas. Ini pula yang disebut Bid’ah Syar’iyah.
Adapun Bid’ah lughowiyah, yaitu segala yang belum pernah terjadi pada zaman Rasululah SAW.Bid’ah lughowiyah terbagi menjadi lima:
Bid’ah Wajibu Ala Kifayah, misal mempelajari Al Ulumul Arabiyah sebagai alat masuk memahami Al-Qur’an Dan Hadits.

•Bid’ah Muharromah, misanya seperti I’tiqod dan hal ihwal ahli bid’i yang bertentangan dengan thoriqoh Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

•Bid’ah Mandubah, yaitu perbuatan-perbuatan yang baik tidak terjadi pada zaman RasulullahSAW.seperti mendirikan madrasah-madrasah untuk memudahkan cara-cara memberi pelajaran agama kepada murid-murid.

•Bid’ah Makruhah, misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan yang berlebih-lebihan.

•Bid’ah Mubahah, sepeti bermewah-mewah dalam makan minum.

baca juga => Hadits Carilah Ilmu Walau Sampai Ke Negeri Cina

Hadits Carilah Ilmu Walau Sampai Ke Negeri Cina


PERTANYAAN :
Tuntutlah ilmu sampai ke negeri china. Menurut orang kebanyakan, kalimat di atas adalah HADITS. Menurut antum?

JAWABAN :
« اطلبوا العلم ولو بالصين ، فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم »

“ Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China, karena sesungguhnya menuntut ilmu sangatlah wajib atas setiap orang muslim”.

Nash di atas adalah matan dari hadits dhoif tetapi diriwayatkan melalui banyak sanad, di antaranya Imam Baihaqi dalam kitab syi’bul iman.

Ahli hadits menyatakan di antara perowi hadits tersebut adalah Abu ‘Atikah yang dikatakan oleh ulama’ hadits sebagai perowi dhoif, sehingga muncul banyak pendapat dalam menilai hadits ini sebagai hadits dhoif, bathil atau tidak bersanad.

Namun demikian, menurut al-hafidh al-Mazi : karena hadits ini memiliki banyak jalan (sanad), maka dari dhoif naik ke derajat hasan lighoirihi.

Oleh karena itu tidak boleh bagi kita mengatakan bahwa itu bukan hadits.

baca juga => Komentar Muhammad Al-Ghozaly Tentang Sunan At-Tirmidziy

Komentar Muhammad Al-Ghozaly Tentang Sunan At-Tirmidziy

Alimam Hujjatul Islam, wa Profesorul Anam Muhammad bin Muhammad Algazali,diakhir hayatnya Amat Menggandrungi Sunan Attirmidzi.Menurut bliau,Rumah yang Ada di dalamnyaa kitab hadits tersebut, Seakan-akan ada Nabi SAW yang Sedang berbicara.

Menurut Imamul haddad Ra, hal ini dikarenakan beliau dianugrahi kemantapan Ilmu Ladunni tabahhur di  dalamnya.sehingga perangai beliau tidak cocok kecuali dengan Ilmu Laduni juga dan Ilmu Hadits.

Sebagian Ulama mengatakan jikalau Umur beliau panjang, Niscaya beliau bakal Menguasai Ilmu tersebut.  [ Alfuyudlat Al Rabbaniyyah, hal 120 bittasharruf ].

kitab Al-Jamius Shahih alias Sunan At-tirmizi dalam cet DKI Darul Kutub Ilmiyah beirut terdiri dari 5 jilid, jilid ke 5 adalah Fihrisat/daftar isi hadits dan Rawinya. Ditahkik oleh Syaikh Mahmud Muhammad Nasshar.

Alhamdulillah tidak pake tahkikannya Al Albani. Adapun dalam cet Darul Hadith kairo, kitab tersebut terdiri dari 6 jilid dengan tahkik dari Syaikh Ahmad Syakir, kemudian diteruskan Oleh Dr.Musthafa Adz-dzahabi.

baca juga => Hadits : An-Nadhoofatu MinaL Iman

Hadits : An-Nadhoofatu MinaL Iman


PERTANYAAN :
Apakah benar annadzofatu minal iman itu bukan hadits ?

JAWABAN:
Berikut sedikit paparan hadits diatas :
قال صلى الله عليه و سلم بني الدين على النظافة // حديث بني الدين على النظافة لم أجده هكذا وفي الضعفاء لابن حبان من حديث عائشة تنظفوا فإن الإسلام نظيف وللطبراني في الأوسط بسند ضعيف جدا من حديث ابن مسعود النظافة تدعو إلى الإيمان // وهو كذلك باطنا وظاهرا قال الله تعالى إنما المشركون نجس تنبيها للعقول على الطهارة والنجاسة غير مقصورة على الظواهر بالحس فالمشرك قد يكون نظيف الثوب مغسول البدن ولكنه نجس الجوهر أي باطنه ملطخ بالخبائث

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Agama didasari atas kebersihan”. Tidak ditemukan redaksi haditsnya seperti diatas, yang tertulis dalam sekumpulan hadits-hadits dhaifnya Ibn Hibban dari riwayat ‘Aisyah “Bersihkanlah diri kalian karena islam itu bersih” sedang riwayat at-Thabraany dengan sanad yang dhaif dari Ibn Mas’ud dikatakan “kebersihan itu mendatangkan keimanan”. kebersihan secara lahir dan bathin memang mendatangkan keimanan, Allah berfirman “sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, (QS. 9:28) untuk memberi motifasi agar selalu bersuci, sedang maksud najis tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat lahiriyah semata, kenajisan lahiriyah orang musyrik terkadang masih bisa tersucikan namun kenajisan bathiniyah yang tercampuri oleh perbuatan tercela (bisakah terhilangkan ?). [ Al-Ihyaa’ I49 ].
278 – حديث " بني الدين على النظافة "

** لم أجده هكذا ، وفي الضعفاء لابن حبان من حديث عائشة " تنظفوا فإن الإسلام نظيف " والطبراني في الأوسط بسند ضعيف جدا من حديث ابن مسعود " النظافة من الإيمان " .

Hadits “Agama didasari atas kebersihan”. Tidak ditemukan redaksi haditsnya seperti diatas, yang tertulis dalam sekumpulan hadits-hadits dhaifnya Ibn Hibban dari riwayat ‘Aisyah “Bersihkanlah diri kalian karena islam itu bersih” sedang riwayat at-Thabraany dalam kitab al-Awsaathnya dengan sanad yang dhaif sekali dari Ibn Mas’ud dikatakan “kebersihan sebagian dari iman”. [ Takhriij al-Ahaadits al-Ihyaa’ I/278 ]. Wallaahu A'lamu Bis showaab...

baca juga => Hadits Hari Ini Lebih Baik Dari Hari Kemarin

Hadits Hari Ini Lebih Baik Dari Hari Kemarin


من كان يومه خيرا من أمسه فهو رابح، ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون ومن كان يومه شرا من أمسه فهو ملعون

“Barangsiapa yang harinya (hari ini) lebih baik dari sebelumnya, maka ia telah beruntung, barangsiapa harinya seperti sebelumnya, maka ia telah merugi, dan barangsiapa yang harinya lebih jelek dari sebelumnya, maka ia tergolong orang-orang yang terlaknat”
Derajat hadts diatas ada yang mengatakan maudhuu’ (palsu) ada menyatakan dha’if namun ada hadits yang derajatnya marfuu’ yang memiliki arti mirip dengan hadits diatas yaitu :
رقم الحديث: 457

(حديث مرفوع) حَدِيثُ : " مَنِ اسْتَوَى يَوْمَاهُ فَهُوَ مَغْبُونٌ ، وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُونٌ " ، لَا يُعْرَفُ إِلَّا فِي مَنَامٍ لِعَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوَّادٍ ، قَالَ : أَوْصَانِي بِهِ فِي الرُّؤْيَا بِزِيَادَةٍ فِي آخِرِهِ ، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ ، وَلَعَلَّ الزِّيَادَةَ " وَمَنْ لَمْ يَكُنْ فِي زِيَادَةٍ فَهُوَ فِي نُقْصَانٍ " وَلِلَّهِ دَرُّ الْبُسْتِيِّ : زِيَادَةُ الْمَرْءِ فِي دُنْيَاهُ نُقْصَانُ وَرِبْحُهُ غَيْرَ مَحْضِ الْخَيْرِ خُسْرَانُ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى : وَالْعَصْرِ { 1 } إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ { 2 } إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ سورة العصر آية 1-3 .

“Barangsiapa yang dua harinya (hari ini dan kemarin) sama maka ia telah merugi, barangsiapa yang harinya lebih jelek dari hari sebelumnya maka ia tergolong orang-orang yang terlaknat”. Asal usul hadit ini tidak diketahui kecuali dalam mimpinya ‘Abd ‘aziz Bin Abi rawaad, dia berkata “Nabi berwasiat kepadaku dalam sebuah mimpi, dengan disebutkan kata tambahan diakhirnya” (HR al-baihaqy), kemungkinan isi tambahannya adalah “Barangsiapa tidak terdapat tambahan diharinya maka ia dalam kekurangan.

baca juga => TAFSIR Q.S AL-AHZAB AYAT 72 : MAKNA DZOLUUMAN JAHUULAA

TAFSIR Q.S AL-AHZAB AYAT 72 : MAKNA DZOLUUMAN JAHUULAA


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (Surah Al-Ahzab, Ayat 72) :

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab [33]: 72).

Dalam sebuah riwayat, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibn Katsir, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa yang dimaksud amanah di ayat ini adalah ketaatan. Dalam riwayat lain dari Ibn ‘Abbas, masih dalam Tafsir Ibn Katsir, beliau menyatakan makna amanah di sini adalah kewajiban-kewajiban. Allah menawarkan amanah ini kepada langit, bumi dan gunung-gunung, jika mereka menunaikannya mereka akan mendapat pahala, dan jika mereka tidak menunaikannya mereka akan mendapat siksa. Mereka tidak menyukainya dan enggan untuk mengambilnya. Mereka enggan bukan karena maksiat kepada Allah, namun karena sadar akan keagungan diin Allah, dan khawatir tidak sanggup menunaikannya. Kemudian amanah ini ditawarkan kepada Adam ‘alaihis salam, dan beliau menerimanya. Inilah yang disebutkan dalam firman Allah ta’ala: {Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, amanah di ayat ini mencakup seluruh taklif syariah dan kewajiban agama, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Amanah ini merupakan sesuatu yang sangat besar dan agung, hingga langit, bumi dan gunung-gunung tidak mau memikulnya. Namun, manusia bersedia memikulnya, hingga ia disebut sangat zalim dan sangat bodoh, karena ia tidak memahami besar dan beratnya tugas memikul amanah ini.

Al-Insan (manusia) di ayat ini bersifat umum, hingga mencakup orang kafir, munafiq, pelaku maksiat, dan orang yang beriman. Hanya orang-orang berimanlah yang mampu memikul amanah yang sangat berat ini, amanah yang tidak mampu dipikul oleh makhluk Allah yang jauh lebih besar dari manusia, yaitu langit, bumi dan gunung-gunung. Sisanya, mayoritas manusia yang kafir, munafiq dan para ahli maksiat, tidak mampu memikul amanah ini, dan mereka akan mendapat siksa yang pedih kelak di akhirat.
Wallahu a’lam.

baca juga => TAFSIR Q.S AN-NUR AYAT 35 : MAKSUD ALLAH ITU CAHAYA LANGIT DAN BUMI

TAFSIR Q.S AN-NUR AYAT 35 : MAKSUD ALLAH ITU CAHAYA LANGIT DAN BUMI


Surat An-Nur Ayat 35 :

۞ اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ


Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

- Tafsir Jalalain :
(Allah cahaya langit dan bumi) yakni pemberi cahaya langit dan bumi dengan matahari dan bulan. (Perumpamaan cahaya Allah) sifat cahaya Allah di dalam kalbu orang Mukmin (adalah seperti misykat yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca) yang dinamakan lampu lentera atau Qandil. Yang dimaksud Al Mishbah adalah lampu atau sumbu yang dinyalakan. Sedangkan Al Misykaat artinya sebuah lubang yang tidak tembus. Sedangkan pengertian pelita di dalam kaca, maksudnya lampu tersebut berada di dalamnya (kaca itu seakan-akan) cahaya yang terpancar darinya (bintang yang bercahaya seperti mutiara) kalau dibaca Diriyyun atau Duriyyun berarti berasal dari kata Ad Dar'u yang artinya menolak atau menyingkirkan, dikatakan demikian karena dapat mengusir kegelapan, maksudnya bercahaya. Jika dibaca Durriyyun dengan mentasydidkan huruf Ra, berarti mutiara, maksudnya cahayanya seperti mutiara (yang dinyalakan) kalau dibaca Tawaqqada dalam bentuk Fi'il Madhi, artinya lampu itu menyala. Menurut suatu qiraat dibaca dalam bentuk Fi'il Mudhari' yaitu Tuuqidu, menurut qiraat lainnya dibaca Yuuqadu, dan menurut qiraat yang lainnya lagi dapat dibaca Tuuqadu, artinya kaca itu seolah-olah dinyalakan (dengan) minyak (dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur dan pula tidak di sebelah Barat) akan tetapi tumbuh di antara keduanya, sehingga tidak terkena panas atau dingin yang dapat merusaknya (yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api) mengingat jernihnya minyak itu. (Cahaya) yang disebabkannya (di atas cahaya) api dari pelita itu.

Makna yang dimaksud dengan cahaya Allah adalah petunjuk-Nya kepada orang Mukmin, maksudnya hal itu adalah cahaya di atas cahaya iman (Allah membimbing kepada cahaya-Nya) yaitu kepada agama Islam (siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat) yakni menjelaskan (perumpamaan-perumpamaan bagi manusia) supaya dapat dicerna oleh pemahaman mereka, kemudian supaya mereka mengambil pelajaran daripadanya, sehingga mereka mau beriman (dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) antara lain ialah membuat perumpamaan-perumpamaan ini. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas tentang firman Allah : “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi,” yakni, Allah pemberi petunjuk bagi penduduk langit dan bumi. Ibnu Juraij berkata, Mujahid dan ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata tentang firman Allah : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.’ Yaitu, yang mengatur urusan di langit dan di bumi, mengatur bintang-bintang, matahari, dan bulan.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Anas bin Malik , ia berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Cahaya-Ku adalah petunjuk.’” Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab tentang firman Allah : “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya.” Yaitu, orang Mukmin yang Allah resapkan keimanan dan al-Qur-an ke dalam dadanya. Lalu Allah me­nyebut­kan permisalan tentangnya, Allah berfirman: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi,” Allah memulai dengan menyebutkan cahaya-Nya, kemudian menyebutkan cahaya orang Mukmin: “Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya.” Ubay membacanya: “Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya,” yaitu seorang Mukmin yang Allah resapkan keimanan dan al-Qur-an ke dalam dadanya. Demikianlah diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair dan Qais bin Sa’ad dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwa beliau membacanya: “Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah.”

Sebagian qari’ membacanya: “Allah Penerang langit dan bumi.” Adh-Dhahhak membacanya: “Allah yang menerangi langit dan bumi.” Dalam menafsirkan ayat ini, as-Suddi berkata: “Dengan cahaya-Nya langit dan bumi menjadi terang benderang.” Dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas , ia berkata: “Apabila Rasulullah bangun di tengah malam, beliau berdo’a: “Ya Allah, segala puji bagi-Mu, Engkau adalah cahaya langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau Yang Mengatur langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya.” (Al-Hadits).

Firman Allah : “Perumpamaan cahaya-Nya,” ada dua pendapat berkaitan dengan dhamir (kata ganti orang ketiga) dalam ayat ini: Dhamir tersebut kembali kepada Allah, yakni perumpamaan petunjuk-Nya dalam hati seorang Mukmin seperti misykaah (lubang yang tak tembus). Demikian dikatakan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas . Dhamir tersebut kembali kepada orang-orang Mukmin yang disebutkan dalam konteks kalimat, yakni perumpamaan cahaya seorang Mukmin yang ada dalam hatinya seperti misykaah. Hati seorang Mukmin disamakan dengan fitrahnya, yaitu hidayah dan cahaya al-Qur-an yang diterimanya yang sesuai dengan fitrahnya. Seperti disebutkan dalam ayat lain: “Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (al-Qur-an) dari Rabbnya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah.” (QS. Huud: 17).

Allah menyamakan kemurnian hati seorang Mukmin dengan lentera dari kaca yang tipis dan mengkilat, menyamakan hidayah al-Qur-an dan syari’at yang dimintanya dengan minyak zaitun yang bagus lagi jernih, bercahaya dan tegak, tidak kotor dan tidak bengkok. Firman Allah : “Seperti sebuah lubang yang tak tembus,” Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Muhammad bin Ka’ab, dan lainnya mengatakan: “Misykaah adalah tempat sumbu pada lampu, itulah makna yang paling masyhur.” Firman Allah : “Yang di dalamnya ada pelita besar,” yaitu cahaya yang terdapat di dalam lentera. Ubay bin Ka’ab mengatakan: “Mishbaah adalah cahaya, yaitu al-Qur-an dan iman yang terdapat dalam dada seorang Mukmin.”

Firman Allah : “Pelita itu di dalam kaca,” cahaya tersebut memancar dalam kaca yang bening. Ubay bin Ka’ab dan para ulama lainnya mengatakan: “Maksudnya adalah perumpamaan hati seorang Mukmin.” Firman Allah : “(Dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,” sebagian qari[1] membacanya tanpa hamzah di akhir kata, yakni seakan-akan bintang seperti mutiara. Sebagian lainnya membaca dan atau dengan kasrah dan dhammah huruf daal dan dengan hamzah, diambil dari kata , artinya lontaran. Karena bintang apabila dilontarkan akan lebih bercahaya daripada kondisi-kondisi lainnya. Bangsa Arab menyebut bintang-bintang yang tidak diketahui namanya dengan sebutan . Ubay bin Ka’ab mengatakan: “Yakni bintang-bintang yang bercahaya.”

Firman Allah : “Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,” yaitu berasal dari minyak zaitun, pohon yang penuh berkah, yakni pohon zaitun. Dalam kalimat, kedudukan kata adalah badal atau ‘athaf bayan. Firman Allah : Yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),” tempat tumbuhnya bukan di sebelah timur hingga tidak terkena sinar matahari di awal siang dan bukan pula di sebelah barat hingga tertutupi bayangan sebelum matahari terbenam, namun letaknya di tengah, terus disinari matahari sejak pagi sampai sore. Sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, sedang dan bercahaya.

Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab tentang firman Allah : “Pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),” beliau berkata: “Yakni pohon zaitun yang hijau dan segar yang tidak terkena sinar matahari, bagaimanapun kondisinya, baik ketika matahari terbit maupun matahari terbenam.” Beliau melanjutkan: “Demikianlah seorang Mukmin yang terpelihara dari fitnah-fitnah. Adakalanya ia tertimpa fitnah, namun Allah meneguhkannya, ia selalu berada dalam empat keadaan berikut: Jika berkata ia jujur, jika menghukum ia berlaku adil, jika diberi cobaan ia bersabar dan jika diberi, ia bersyukur. Keadaannya di antara manusia lainnya seperti seorang yang hidup berjalan di tengah-tengah kubur orang-orang yang sudah mati. Zaid bin Aslam mengatakan: “Maksud firman Allah : ‘Tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),’ yaitu negeri Syam.”

Firman Allah : “(Yaitu), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api,”“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),” al-‘Aufi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas , bahwa maksudnya adalah iman seorang hamba dan amalnya. Ubay bin Ka’ab berkata tentang firman Allah : ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “Yakni, disebabkan kilauan minyak yang ber­cahaya. Firman Allah : “Cahaya di atas cahaya,” yakni tidak lepas dari lima cahaya, perkataannya adalah cahaya, amalnya adalah cahaya, tempat masuknya adalah cahaya, tempat keluarnya adalah cahaya, tempat kembalinya adalah cahaya pada hari Kiamat, yakni Surga. As-Suddi mengatakan: “Maksudnya adalah, cahaya api dan cahaya minyak, apabila bersatu akan bersinar, keduanya tidak akan bersinar dengan sendirinya jika tidak berpasangan. Demikian pula cahaya al-Qur-an dan cahaya iman manakala bersatu, tidak akan bercahaya kecuali bila keduanya ber­satu.”

Firman Allah : “Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,” Allah membimbing kepada hidayah bagi siapa yang Dia kehendaki, seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari ‘Abdullah bin ‘Amr , bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Allah memberi cahaya-Nya kepada mereka. Barang siapa mendapat cahaya-Nya pada saat itu, berarti ia telah mendapat petunjuk dan barang siapa tidak mendapatkannya berarti ia telah sesat. Oleh karena itu, aku katakan: ‘Al-Qur-an (penulis takdir) dari ilmu Allah telah kering.’”

Firman Allah : “Dan Allah mem­perbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” Setelah menyebutkan perumpamaan cahaya-Nya dan hidayah-Nya dalam hati seorang Mukmin, Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya: “Dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” Yaitu, Dia Mahamengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan siapa yang berhak disesatkan.
Wallahu a’lam.

baca juga => TAFSIR SURAT ALI IMRON AYAT 110 : KALIAN SEBAIK-BAIK UMAT

TAFSIR SURAT ALI IMRON AYAT 110 : KALIAN SEBAIK-BAIK UMAT

Allah berfirman :

كُنْتُمْ  خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ  وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ  أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ  وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ


" Kalian adalah umat  yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf,  dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara  mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang  fasik ."

Yang dimaksud dengan 'kalian' dalam surat Ali Imran ayat 110 menurut ikrimah adalah ibnu mas'ud, ubay bin ka'b, mu'adz bin jabal dan salim maula abu hudzaifah.

Riwayat dari Ibnu Abbas, yang dimaksud 'kalian' dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang hijrah bersama Nabi shollallohu alaihi wasallam ke madinah.
Juwaibir  berkata dari ad-dhohhak : mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad  shollallohu alaihi wasallam terkhusus yang meriwayatkan hadits dan pendakwah yang Allah perintahkan kepada muslimin untuk menta'atinya.
Diriwayatkan dari Umar bin khottob : kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan  untuk manusia, ayat ini adalah untuk orang-orang pada masa awal kita, bukan untuk orang  akhir akhir kita.

Dalam kitab tafsir al-Qurtuby ada pendapat, bahwa yang dimaksud 'kalian' dalam ayat tersebut adalah ummat Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam, yaitu orang-orang  sholeh dan ahli keutamaan diantara mereka, mereka adalah kelak yang menjadi saksi atas manusia di hari kiamat. Wallahu a’lam. 

baca juga => TAFSIR Q.S AL-BAQOROH AYAT 138 : MAKSUD SHIBGHOTALLAH

TAFSIR Q.S AL-BAQOROH AYAT 138 : MAKSUD SHIBGHOTALLAH


PERTANYAAN :
  Apa maksud potongan ayat ini "Shibghah Allah, Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah ?" ( Q.S. Al-Baqoroh: 138 ).

JAWABAN :
Firman Allah dalam Q.S Al-baqoroh ayat 13 :

صِبْغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ


“Sibgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibgah­nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyem­bah.”

Firman  Allah Swt., "sibgah Allah." Menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, yang  dimaksud dengan saibgah ialah agama Allah. Hal yang semakna telah  diriwayatkan pula dari Mujahid, Abul Aliyah, Ikrimah, Ibrahim, Al-Hasan,  Qatadah, Ad-Dahhak, Abdullah ibnu KOr, Atiyyah Al-Aufi, Ar-Rabi' ibnu  Anas, dan As-Saddi. Lafaz sibgah dibaca nasab, yakni  sibgatallahi, adakalanya karena sebagai igra' (anjuran), seperti  pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: (tetaplah atas) fitrah Allah. (Ar-Rum: 30). Dengan demikian, berarti makna sibgatallahi ialah tetaplah kalian pa­da sibgah (agama) Allah itu.

Ulama yang lain mengatakan bahwa lafaz sibgah dibaca nasab karena berkedudukan sebagai badal dari firman-Nya: (kami mengikuti) agama Ibrahim. (Al-Baqarah: 135). Menurut  Imam Sibawaih, lafaz sibgah dibaca nasab karena menjadi mashdar mu'akkid dari fi'il yang terkandung di dalam firman-Nya : Kami beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 136) Perihalnya sama dengan firman-Nya : Allah telah membuat suatu janji. (An-Nisa: 122).

Telah  disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim  dan Ibnu Murdawaih melalui riwayat Asy'a§ ibnu Ishaq, dari Sa'id ibnu  Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. pernah ber­sabda : “Sesungguhnya  orang-orang Bani Israil pernah bertanya, "Wahai utusan Allah, apakah  Tuhanmu melakukan celupan?" Musa a.s. menjawab, "Jangan kalian  sembarangan, bertakwalah kepada Allah!" Maka Tuhannya menyerunya, "Hai  Musa, apakah me­reka menanyakan kepadamu bahwa benarkah Tuhanmu  melaku­kan celupan? Katakanlah, Benar, Aku mencelup berbagai warna, ada  yang merah, ada yang putih, dan ada yang hitam, semuanya adalah hasil  celupan-Ku."
Allah Swt. menurunkan kepada Nabi-Nya ayat berikut, yaitu firman­Nya : Sibgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibgah-nya daripada Allah? (Al-Baqarah: 138).

Demikianlah  menurut apa yang disebutkan di dalam riwayat Ibnu Murdawaih secara  marfu' , sedangkan sanad ini menurut riwayat Ibnu Abu Hatim berpredikat  mauquf, tetapi sanad Ibnu Abu Hatim lebih dekat kepada predikat marfu'  jika sanadnya sahih.

-Tafsir Ibnu Katsir :

وقوله  : ( صبغة الله ) قال الضحاك ، عن ابن عباس : دين الله . وكذا روي عن مجاهد  ، وأبي العالية ، وعكرمة ، وإبراهيم ، والحسن ، وقتادة ، والضحاك ، وعبد  الله بن كثير ، وعطية العوفي ، والربيع بن أنس ، والسدي ، نحو ذلك .

وانتصاب  ( صبغة الله ) إما على الإغراء كقوله ( فطرة الله ) [ الروم : 30 ] أي :  الزموا ذلك عليكموه . وقال بعضهم : بدل من قوله : ( ملة إبراهيم ) وقال  سيبويه : هو مصدر مؤكد انتصب عن قوله : ( آمنا بالله ) كقوله ) واعبدوا  الله ) [ النساء : 36 ] .

وقد ورد في حديث رواه ابن أبي  حاتم وابن مردويه ، من رواية أشعث بن إسحاق عن جعفر بن أبي المغيرة عن سعيد  بن جبير ، عن ابن عباس أن نبي الله قال : " إن بني إسرائيل قالوا : يا  موسى ، هل يصبغ ربك ؟ فقال : اتقوا الله . فناداه ربه : يا موسى ، سألوك هل  يصبغ ربك ؟ فقل : نعم ، أنا أصبغ الألوان : الأحمر والأبيض والأسود ،  والألوان كلها من صبغي " . وأنزل الله على نبيه صلى الله عليه وسلم : (  صبغة الله ومن أحسن من الله صبغة ) .

كذا وقع في رواية ابن مردويه مرفوعا ، وهو في رواية ابن أبي حاتم موقوف ، وهو أشبه ، إن صح إسناده ، والله أعلم .


Coba kita perhatikan tamtsil berikut : Anak anak itu laksana kain putih yang belum diberi warna (dicelep warna). Jika sedari kecil dikenalkan pada Agama Allah dan rosulnya, diberi pelajaran dan atau dimasukkan pada lembaga pendidikan yang berbasiskan agama, maka seperti demikian dikatakan Shibghoh Allah. Bandingkan  dengan anak yang dalam keluarganya tidak memperkenalkan pada ajaran agama,  kemudian hanya mengenyam pendidikan umum / formal saja.

Maka pengenalan ajaran agama ,mendidik dan membimbingnya dikatakan Celepan/shibghoh Allah. Sebaliknya, jika hanya dikenalkan dididik akan ilmu umum saja, maka tidak dikatakan tidak tercelep oleh warna agama. Wallahu a'lam.

baca juga =>  TAFSIR Q.S. AL-BAQOROH AYAT 57 : MAKSUD AWAN, MANNA DAN SALWA